JAKARTA. KOMPAS.TV – The Great Depression (depresi besar) atau disebut juga dengan krisis malaise merupakan kondisin menurunnya tingkat ekonomi secara dramatis di seluruh dunia. Pertama kali terjadi di tahun 1929 yang dimulai di Amerika Serikat.
Tak hanya di AS, depresi besar ini juga mempengaruhi hampir setiap negara di dunia termasuk negara-negara Eropa. Namun, tanggal dan besaran penurunan bervariasi secara substansial di berbagai negara.
Melansir dari History dan econlib.org, secara singkat, depresi tersebut berawall dari anjloknya bursa saham New York Wall Street (NYSE) pada Oktober 1929. Pada 24 Oktober 1929, berbondong-bondong menjual sahamnya. Akhirnya, 12,9 juta saham saham diperdagangkan pada hari itu, yang dikenal sebagai 'Black Thursday'.
Lima hari kemudian, pada 29 Oktober atau 'Black Tuesday', sekitar 16 juta saham diperdagangkan setelah gelombang kepanikan melanda Wall Street. Jutaan saham akhirnya menjadi tidak berharga, dan para investor yang telah membeli saham dengan uang pinjaman merugi sepenuhnya.
Jatuhnya bursa saham tersebut, ditambah lagi oleh jatuhnya standar emas yang mempunyai peran vital dalam siklus ekonomi dunia.
Baca Juga: Hampir Sama, Ini Perbedaan Resesi dan Depresi Ekonomi
Artinya, negara-negara yang patuh terhadap Gold Standard atau acuan harga emas yang ditetapkan di AS, dan berpatokan pada kurs dolar terseret dalam kesengsaraan ekonomi. Negara-negara Eropa yang terlibat perang menjadi yang paling menderita saat itu.
Di sebagian besar negara, seperti Inggris, Prancis, Kanada, Belanda, dan negara-negara Nordik, depresi tidak terlalu parah dan lebih pendek, mayoritas berakhir pada tahun 1931.
Negara-negara tersebut tidak mengalami krisis perbankan dan keuangan seperti yang dialami Amerika Serikat, dan sebagian besar meninggalkan standar emas lebih awal daripada yang dilakukan Amerika Serikat.
Britania Raya misalnya, berjuang dengan pertumbuhan dan resesi yang rendah selama sebagian besar paruh kedua tahun 1920-an. Namun, negara ini tidak mengalami depresi berat hingga awal tahun 1930, dan penurunan produksi industri dari hului ke hilir kira-kira hanya sepertiga dari Amerika Serikat.
Prancis mengalami penurunan yang relatif singkat di awal tahun 1930-an. Pemulihan Prancis pada tahun 1932 dan 1933, berumur pendek. Produksi dan harga industri Prancis turun secara substansial antara tahun 1933 dan 1936.
Selain itu, perekonomian Jerman ikut tergelincir ke dalam penurunan awal tahun 1928 dan kemudian stabil sebelum kembali turun pada kuartal ketiga tahun 1929. Penurunan produksi industri Jerman kira-kira sama dengan yang terjadi di Amerika Serikat.
Sejumlah negara di Amerika Latin jatuh ke dalam depresi pada akhir 1928 dan awal 1929. Sementara beberapa negara kurang berkembang mengalami depresi berat, negara lain seperti Argentina dan Brasil, mengalami penurunan yang relatif ringan.
Sementara itu, dampak utama depresi terhadap Hindia Belanda dapat dibagi menjadi empat yaitu, hancurnya harga dan permintaan komoditas internasional, munculnya masalah dalam perusahaan perkebunan utama seperti karet, gula, dan kopi.
Kemudian, krisis keuangan yang disebabkan berkurangnya penerimaan dan pendapatan pemerintah kolonial, dan menurunnya kesempatan kerja, pendapatan, dan daya beli masyarakat (Padmo, 1991: 151).
Saat krisis itu terjadi, penduduk Jawa menjadi yang paling menderita di Hindia Belanda. Tingkat kesempatan kerja di semua sektor formal (kerja upahan) menurun secara tajam, terutama dalam industri perkebunan yang berujung pada pengurangan upah sebesar 50 persen.
Pengurangan upah itu akhirnya juga turut menurunkan daya beli masyarakat.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.