JAKARTA, KOMPAS.TV – Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam paparan APBN KITA Agustus 2022 mengatakan soal proyeksi bahwa dunia bersama-sama akan terjun ke jurang resesi pada 2023.
Inflasi yang tinggi akibat melesatnya harga pangan dan energi di sejumlah negara, khususnya Eropa dan Amerika Serikat (AS), disebut menjadi pemicu resesi tersebut.
Hal itu memicu pula aksi bank sentral di negara maju menaikkan suku bunga dan mengetatkan likuiditas. “Kalau bank sentral di seluruh dunia meningkatkan suku bunga cukup ekstrem dan bersama-sama, dunia mengalami resesi di 2023," ujarnya, Senin (26/9/2022).
Perkiraan krisis perekonomian tersebut sesungguhnya pernah terjadi pada tahun 1920-an yang dimulai di AS. Kala itu, publik menyebutnya sebagai Depresi Besar atau The Great Depression.
Depresi besar yang juga dikenal dengan istilah krisis malaise tersebut berlangsung selama 10 tahun. Dimulai dari tahun 1929 hingga 1939 pada masa pemerintahan AS pimpinan Herbert Hoover.
Peristiwa itu dimulai dengan jatuhnya bursa saham New York pada tanggal 24 Oktober 1929 dan puncak terparah terjadi pada 29 Oktober 1929. Krisis bursa saham dalam titik terparah itu dijuluki sebagai Black Tuesday dan menjadi salah satu hari yang paling dikenang dalam sejarah ekonomi dunia.
Kepercayaan konsumen pun runtuh setelah jatuhnya pasar saham tersebut. Daya beli menurun, investasi menyusut, sektor industri terguncang, dan pengangguran merebak. Merajalelanya pengangguran itu kemudian juga menyebabkan kredit macet meningkat, dan penyitaan aset melonjak.
Baca Juga: Hampir Sama, Ini Perbedaan Resesi dan Depresi Ekonomi
Hoover berupaya memberi solusi berupa dukungan kepada bank-bank lewat pinjaman pemerintah. Namun, bukannya memberikan perbaikan kondisi, krisis justru semakin parah. Dalam rentang tiga tahun, jumlah pengangguran malah bertambah banyak.
Gene Smiley, profesor dari Marquette University menyatakan lewat tulisannya di Library of Economics and Liberty, pada tahun 1930, angka pengangguran berkisar 4 juta orang. Angka ini kemudian meningkat menjadi 6 juta pada tahun 1931, dan di tahun 1933, jumlahnya menggila menjadi sekitar 15 juta pengangguran.
Depresi besar ini menghancurkan ekonomi negara industri maupun negara berkembang. Lantaran depresi menyelimuti dunia, negara-negara lainnnya harus meninggalkan perjanjian perdagangan yang sebelumnya menguntungkan untuk mengatasi bencana keuangan mereka sendiri.
Volume perdagangan internasional pun berkurang drastis, begitu pula dengan pendapatan perseorangan, pendapatan pajak, harga, dan keuntungan.
Diketahui, antara 1929 dan 1932, produk domestik bruto (PDB) dunia turun sekitar 15 persen. Sebagai perbandingan, dari 2008 hingga 2009 selama resesi, PDB seluruh dunia 'hanya' turun kurang dari 1 persen.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.