YEREVAN, KOMPAS.TV - Dmitri terbang ke Armenia hanya menggendong satu tas kecil, meninggalkan istri dan anak-anaknya, menambah ribuan orang yang kabur dari Rusia untuk menghindari bertugas dalam perang melawan Ukraina.
"Saya tidak ingin pergi berperang," kata Dmitri seperti dikutip Straits Times, Kamis (22/9/2022). "Saya tidak ingin mati dalam perang yang tidak masuk akal ini. Ini adalah perang saudara."
Keputusan Presiden Rusia Vladimir Putin minggu ini untuk memobilisasi beberapa ratus ribu tentara cadangan memicu eksodus baru melintasi perbatasan negara itu.
"Situasi di Rusia akan membuat siapa pun ingin pergi," kata pendatang baru lainnya, Sergei, 44 tahun, yang datang bersama putranya yang masih remaja.
Tampak tersesat dan kelelahan di bandara Armenia, dia membenarkan mereka kabur "karena mobilisasi", tetapi mereka menolak untuk memberikan nama lengkap. "Kami memilih untuk tidak menunggu dipanggil," kata putranya, Nikolai, 17 tahun. "Saya tidak panik, tetapi saya merasakan ketidakpastian ini," tambahnya.
Itu adalah sentimen yang dimiliki oleh orang Rusia lainnya yang tiba dari penerbangan yang sama ke Yerevan.
"Adalah salah untuk berperang di abad ke-21," kata Alexei, 39, seperti dikutip Straits Times. Dia tidak yakin apakah dia bisa kembali ke Rusia, tambahnya. "Semua tergantung pada situasinya."
Baca Juga: Putin Mobilisasi Militer, Indonesia Minta Senjata Nuklir Tak Digunakan dalam Perang Rusia-Ukraina
Pria usia militer merupakan mayoritas dari mereka yang tiba pada penerbangan terakhir dari Moskow ke Yerevan. Banyak yang enggan berbicara. Yerevan menjadi tujuan utama bagi orang Rusia yang melarikan diri sejak perang dimulai pada 24 Februari.
Sejak itu, Armenia mengatakan setidaknya 40.000 orang Rusia tiba di negara kecil Kaukasus itu, yang pernah menjadi bagian dari Uni Soviet. Hampir 50.000 orang Rusia melarikan diri ke negara tetangga Georgia, seperti ditunjukkan statistik nasional dari bulan Juni.
Sumber : Straits Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.