JAKARTA, KOMPAS.TV - Indonesia akan mendapat bonus demografi dalam 10 hingga 20 tahun ke depan. Puncaknya adalah pada 2045, d imana pemerintah menyebutnya sebagai periode "Indonesia Emas".
Namun semua keuntungan yang bisa didapat dari bonus demografi, terancam tidak optimal karena adanya fenomena sandwich generation atau generasi sandwich. Yakni kondisi di mana penduduk usia produktif harus menanggung hidup anak, orangtua, dan bahkan anggota keluarga lainnya.
"Di satu sisi, mereka ada pada kelompok usia produktif, tetapi di sisi lain mereka dapat terhambat menjadi produktif karena beban yang harus ditanggung," kata Dosen Politeknik Statistika Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Margaretha Ari Anggorowati, dikutip dari Harian Kompas, Selasa (13/9/2022).
Seperti yang terlihat dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas. Di mana kelompok terbesar generasi sandwich ada pada kelompok ekonomi menengah bawah.
Baca Juga: Tips Atur Pengeluaran bagi Generasi Sandwich yang Rentan Terpaan Masalah Keuangan
Menurut Margaretha, terdapat beberapa indikator demografi yang dapat digunakan untuk mendekati gambaran generasi sandwich di Indonesia. Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, jumlah penduduk berusia 20-54 tahun yang merepresentasikan generasi sandwich ini mencapai 71.621.318 jiwa atau 26,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Dilihat dari latar belakang pendidikan, berdasarkan data nasional, sebesar 10,8 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas tahun 2022 adalah tamatan perguruan tinggi. Tamatan SLTA 30,4 persen dan SMP 21,7 persen. Selebihnya, tamatan SD/tidak tamat SD.
Terkait preferensi menikah, dapat didekati dari data penduduk berumur 10 tahun ke atas menurut status perkawinan sejak 2016 hingga 2018. Penduduk dengan status kawin pada 2016 sebesar 59,12 persen, kemudian meningkat menjadi 59,24 persen pada 2017, pada 2018 menjadi 59,49 persen. Dari data ini tak terlihat penurunan preferensi menikah bagi penduduk Indonesia.
Margaretha menilai, bonus demografi seharusnya bisa menjadi aset bukan justru menjadi beban.
"Jika tidak disikapi dan disiapkan dengan baik, bonus demografi dapat menimbulkan kesenjangan dan berdampak pada kemiskinan. Kondisi ini, misalnya, bisa muncul karena ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dan lapangan pekerjaan yang tersedia, jumlah pangan dan nutrisi, serta kesempatan menempuh pendidikan yang tidak merata," ujarnya.
Baca Juga: Menjadi Generasi Sandwich dalam Islam, Berkah atau Beban?
Ia menjelaskan, bonus demografi dapat dilihat dari angka rasio ketergantungan (dependency ratio). Yaitu perbandingan antara jumlah penduduk umur 0-14 tahun, ditambah jumlah penduduk 65 tahun ke atas—keduanya disebut ”bukan angkatan kerja”—dibandingkan dengan jumlah penduduk usia 15-64 tahun atau angkatan kerja.
Sumber : Harian Kompas
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.