JAKARTA, KOMPAS.TV – Menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) merupakan langkah terakhir yang harus diambil pemerintah lantaran APBN yang makin membengkak dan subsidi BBM yang lebih dinikmati masyarakat mampu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa sebetulnya kenaikan harga BBM ini sudah mulai terjadi sejak tahun 2021, atau tepatnya pada semester kedua ketika harga-harga komoditas mulai naik.
Saat menentukan APBN 2022, diasumsikan harga BBM itu adalah 63 dolar AS per barel. Namun, ternyata harga melonjak sangat tinggi terutama sesudah terjadinya perang di Ukraina dan Rusia yang mengakibatkan sanksi terhadap Rusia yang merupakan produsen minyak yang sangat besar di dunia,
Jika melihat outlook harga minyak sampai dengan akhir tahun yang diterbitkan oleh EIA menunjukkan harga minyak di 104,8 dolar AS per barel dan berdasarkan forecast konsensus harga minyak bahkan mencapai 105 dolar AS
“Kenaikan harga BBM atau ICP (Indonesia Crude Price) melambung di atas 100 dolar AS. Bahkan, kenaikan harga minyak pada bulan Juli lalu mencapai 126 dolar AS untuk Brent. Kenaikan-kenaikan yang jauh di atas asumsi ini memang menimbulkan suatu tekanan dan pilihan kebijakan bagi pemerintah apakah kenaikan dari harga ICP dunia langsung dibebankan langsung pada masyarakat atau kita tahan,” ujarnya dalam wawancara eksklusif program Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Rabu (7/9/2022).
Sebagaimana diketahui, Indonesia memasok minyak dari Brent dan WTI (Nymex).
Oleh karena itu, pada bulan Juli yang lalu Kemenkeu sudah mengajukan ke DPR dan Presiden meminta untuk menaikkan subsidi BBM yang tadinya hanya 152 triliun, naikkan anggarannya menjadi 502,4 triliun. Dengan kata lain, angka itu 3,4 atau 3,5 kali lipat dari anggaran awal.
“Ini karena kita tidak ingin rakyat dan perekonomian langsung menanggung beban kenaikan ICP atau harga minyak dunia yang memang melonjaknya sangat ekstrem,” jelasnya.
Kenaikan harga minyak ini tentunya terjadi di seluruh dunia termasuk negara-negara di Eropa terutama Amerika dan pasti memberatkan ekonomi dan masyarakatnya. Maka pilihan kebijakan setiap negara berbeda.
“Untuk di Indonesia kita mencoba menahan bahkan kalau perlu harus menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi hingga 3 kali lipatnya yaitu dari 152 menjadi 502,4 itu pun dilakukan,” ujarnya.
Kebetulan, Indonesia mendapatkan windfall (keuntungan tak terduga) dari kenaikan harga-harga komoditas sekitar Rp420 triliun. Semua pendapatan yang naik tersebut kemudian dialokasikan untuk menahan kenaikan harga BBM dunia.
Sayangnya, perhitungan pun berubah. Pasalnya, gejolak di dunia terus menerus terjadi dengan harga yang sangat tinggi. Inflasi pun melonjak sehingga negara-negara maju menaikkan suku bunga secara ekstrim. Ini kemudian meningkatkan juga kurs rupiah yang tadinya Rp14.450 menjadi Rp14.800.
Sementara, masyarakat yang sedang aktif pulih dari pandemi Covid-19 dan ekonomi yang mulai pulih menyebabkan volume konsumsi dari pertalite melonjak. Diperkirakan pertalite akan melonjak menjadi 29 juta kiloliter dari 23 juta kiloliter dan solar dari 15 juta kiloliter akan naik menjadi 17 juta kiloliter.
“Nah, ini menimbulkan dilema sesudah kita naikkan 3,5 kali lipat, kenaikannya akan jauh lebih tinggi lagi menjadi 698 triliun. Jadi, seluruh tambahan windflall profit tadi sebesar 420 T menjadi tidak ada apa-apanya dibandingkan kenaikan yang akan mencapai mendekati 700 triliun. Pemerintah sudah mencari berbagai cara untuk melindungi rakyat,” beber Sri Mulyani,
Misalnya, lanjut Sri Mulyani, angka Rp 700 triliun itu dinikmati lebih kepada masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi jauh lebih tinggi.
“Sehingga ini menimbulkan suatu pertanyaan, bagaimana pemerintah bisa memperbaiki kebijakan, masyarakat yang miskin mendapatkan alokasi tapi tentu kelompok menengah ke atas juga ikut bergotong-royong menuju kepada pilihan untuk menyesuaikan harga BBM,” tuturnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.