JAKARTA, KOMPAS.TV – Rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi muncul dari permasalahan konsumsi pertalite dan biosolar yang diperkirakan melampaui kuota. Dampaknya, anggaran subsidi energi berpotensi membengkak dan APBN negara bisa jebol.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, jika harga BBM dinaikkan akan terjadi trade off atau pilihan dilematis. Apabila harga BBM tidak dinaikkan, subsidi energinya akan membengkak.
“Tetapi yang perlu digarisbawahi selama ini bahwa Presiden selalu membanggakan angka inflasi di Indonesia yang relatif lebih rendah dengan negara lain. Kalo BBM dinaikkan apalagi kenaikannya diusulkan hingga 30 persen,misal pertalite jadi Rp 10 ribu per liter, solar menjadi Rp 8-8,5 ribu per liter. Maka, ini nanti imbasnya pada inflasi yang mungkin terlalu tinggi,” ujarnya dalam Program B-Talk KompasTV, Selasa (23/8/2022).
Ia mengatakan, konsumsi BBM bersubsidi yang masalah sebenarnya bukan soal subsidi tapi tidak tepat sasarannya. Pemerintah mengklaim, bramacorah ikut menikmati subsidi dan subsidi tidak tepat sasaran, terutama pertalite. Namun, baru sekarang mencari data dan salah satu upayanya untuk daftar di MyPertamina.
“Itu kan kontradiksi, yang artinya pemerintah sebenarnya gak siap, datanya sebenarnya gak ada tuh soal data kendaran pribadi mana yang berhak mendapat subsidi atau tidak. Sehingga pertamina disuruh mencari data sendiri,” ungkap Bhima.
Baca Juga: PKS Sebut, Ribuan Nelayan Terancam Bangkrut Jika Harga BBM Naik
Untuk pendataan ini, menurutnya, ada data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). Seharusnya jika memang ingin membuat subsidinya tertutup disinkronkan dahulu dengan DTKS tersebut, sehingga masyarakat yang memang berhak mendapat subsidi otomatis bisa membeli pertalite atau solar.
Selain itu, yang harus diperhatikan dan harus hati-hati adalah menyangkut usaha mikro,kecil, dan menengah (UMKM) yang jumlahnya tidak sedikit. Ada sekitar 60 juta lebih UMKM yang bergantung pada BBM subsidi.
“Ini harus dibereskan dulu pendataannya. Karena kalo mengklaim ini tidak tepat sasaran ini efeknya kepada UMKM. Pasalnya, mereka banyak yang tidak memakai plat kuning atau angkutan khusus,” ujarnya.
Bhima pun menyarankan untuk menanganai masalah ‘kebocoran’ solar dahulu sembari membereskan masalah pendataan yang akan membutuhkan waktu lama lantaran data bansos masih banyak yang perlu disempurnakan apalagi data kendaaraan.
“Pertamina beberapa kali bilang masalah solar bocor untuk industri skala besar, pertambangan dan perkebunan skala besar, itu yang harus ditutup dulu. Kalo perlu SPBU dipisah atau dikasih pengawasan khusus,” ungkapnya.
JIka yang bocor ini ditutup, bisa menghemat subsidi energi mungkin hampir sebagian.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.