Kompas TV nasional update corona

Epidemiolog Prediksi Puncak Gelombang Keempat Covid Terjadi Agustus, Krisisnya Bisa hingga Oktober

Kompas.tv - 20 Juli 2022, 16:43 WIB
epidemiolog-prediksi-puncak-gelombang-keempat-covid-terjadi-agustus-krisisnya-bisa-hingga-oktober
Pakar epidemiologi Griffith University Dicky Budiman memprediksi puncak gelombang keempat pandemi Covid-19 terjadi di awal Agustus atau paling cepat akhir Juli 2022. (Sumber: KOMPAS TV)
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana | Editor : Deni Muliya

JAKARTA, KOMPAS.TV – Pakar epidemiologi Griffith University Dicky Budiman memprediksi puncak gelombang keempat pandemi Covid-19 terjadi di awal Agustus atau paling cepat akhir Juli 2022.

Meski memprediksi bahwa puncak gelombang keempat akan terjadi pada awal Agustus 2022, Dicky menyebut krisis dari gelombang ini dapat terjadi hingga awal Oktober.

Menurut Dicky, Indonesia harus siap berekspektasi jika masa krisis sampai Oktober.

Di sisi lain, Dicky menekankan untuk tetap waspada.

"Namun masa krisis dari gelombang keempat ini bisa sampai awal Oktober,” tuturnya pada Tribunnews, Rabu (20/7/2022).

“Ini karena selain sub varian BA.4 dan BA.5 yang mendominasi, ada juga kehadiran BA.2.75 yang berpotensi memperpanjang masa kritis," ungkapnya.

Baca Juga: Gerai Vaksinasi Covid-19 Di Sorong Mulai Ramai Dipadati Warga

Meski demikian, Dicky menyebut bahwa jumlah orang yang masuk ICU atau pun kematian memang cenderung lebih rendah pada gelombang keempat.

"Tapi akan tetap ada. Kita harus ingat proporsi yang masuk. Misalnya masuk rumah sakit, kematian, itu tetap signifikan dibandingkan dengan jumlah penduduk yang besar," ucapnya.

Masyarakat, lanjut Dicky, harus tetap waspada. Bukan hanya pada kelompok rawan saja, tapi pada daerah dengan cakupan vaksinasi yang masih buruk.

Baca Juga: Sebanyak 13 Jemaah Haji Positif Covid-19 saat Tiba di Tanah Air


Di tengah lemahnya buruknya sistim pelaporan, baik itu kasus infeksi maupun kematian, Dicky menyebut Indonesia harus belajar dari kejadian dua tahun terakhir.

Angka kematian Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan pada estimasi WHO.

Menurutnya, itu berarti kasus kematian di lapangan jauh lebih banyak, terutama kasus infeksinya.

Hal ini, kata Dicky, bukan perkara mudah. Karena dapat menimbulkan pekerjaan rumah di kemudian hari.

“Terutama beban di kesehatan dengan banyaknya kasus penduduk 10 tahun ke depan mengalami penyakit tidak menular. Seperti Diabetes, Hipertensi dan sebagainya," tutur Dicky.




Sumber : Tribunnews.com




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x