JAKARTA, KOMPAS.TV - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar mengundurkan diri di tengah dugaan gratifikasi tiket dan akomodasi Moto GP sirkuit Mandalika, sehingga sidang etik Dewan Pengawas KPK (Dewas) terhadapnya diputuskan gugur.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menilai ada skenario politik dalam keputusan Lili tersebut.
"Tidak ada yang kebetulan di ruang politik hukum, pasti ada skenario tertentu untuk membuat suasana agar lebih kondusif," kata Feri dalam Sapa Indonesia Malam Kompas TV, Senin (11/7/2022).
Dia menjelaskan, ada kemungkinan keterlibatan sejumlah pihak, di antaranya Dewas dan istana presiden, sehingga Lili bisa mengundurkan diri dan bebas dari proses persidangan etik.
"Tentu tidak bisa Bu Lili saja ya, pasti terlibat Dewas di dalamnya, istana presiden, karena tidak bisa Lili terburu-buru mengundurkan diri lalu bebas dari proses persidangan tanpa ada pihak-pihak lain yang terlibat," terangnya.
Menurut Feri, terbitnya keputusan presiden (Keppres) terkait dikabulkannya permohonan pengunduran diri Lili membuat status Lili berubah, dari pimpinan KPK menjadi warga negara biasa.
"Pada titik itu, Dewan Pengawas (Dewas) KPK punya alibi untuk tidak menyidangkan perkara Lili. Padahal kita perlu ketahui, apa sesungguhnya yang terjadi di GP Mandalika," jelasnya.
Baca Juga: ICW sebut Kedatangan Firli Bahuri ke Dewas KPK Tak Lazim: Pengaruhi Sidang Etik Lili Pintauli
Feri menyebut, mestinya dugaan gratifikasi yang menimpa Lili dapat dibuka dalam persidangan etik oleh Dewas, sehingga apabila terungkap alasan pemberian gratifikasi terhadap Lili dan ia terbukti melakukan tindakan gratifikasi tersebut, maka Lili bisa dinyatakan melanggar etik dan diberhentikan dari KPK.
"Mestinya itu terbuka dalam persidangan, sehingga kemudian Lili bisa dinyatakan diberhentikan, karena sudah mengulangi beberapa kali perbuatan melanggar etik," tegasnya.
Dia juga menilai bahwa Lili sudah di bibir jurang karena sudah beberapa kali melakukan pelanggaran kode etik KPK, di antaranya mengatur perkara dan menyatakan berita bohong di sebuah konferensi pers.
"Kalau saya lihat, memang posisi Bu Lili sudah di bibir jurang, karena sudah tiga kali melakukan pelanggaran atau setidaknya termasuk dianggap melakukan pelanggaran etik," ungkapnya.
Ia menambahkan, tindakan gratifikasi merupakan bentuk pidana korupsi, sehingga jaksa, kepolisian, bahkan KPK dapat mengusut kasus dugaan gratifikasi yang menimpa Lili. Selain itu, kata Feri, tindakan pidana juga otomatis melanggar kode etik.
Baca Juga: ICW Desak Dewas KPK Batalkan Penetapan dan Lanjutkan Sidang Etik Lili Pintauli
"Dalam konteks ini tidak boleh serta merta pidana itu gugur," terangnya.
Gugurnya sidang etik Dewas terhadap Lili, menurut Feri, menyebabkan proses penegakan etik di KPK selalu menjadi misterius.
"Ini akan jadi semacam yurisprudensi juga bagi pelaku pelanggaran etik kalau besok ketahuan mundur saja, kalau tidak ketahuan, lanjut. Ini tidak boleh terjadi dalam penegakan hukum," imbuhnya.
Sebelumnya, pada Agustus 2021, sidang etik dewan pengawas KPK memutuskan Lili bersalah. Ia dinyatakan terbukti melakukan komunikasi dengan M Syahrial yang saat itu terkait dengan kasus suap lelang jabatan Pemkot Tanjung Balai. Dewas KPK menjatuhkan sanksi berupa pemotongan 40 persen gaji Lili selama 12 bulan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.