Penulis: Julius Sumant, jurnalis senior Kompas TV
Misi damai Presiden Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia akhir Juni lalu jadi sorotan di dalam maupun luar negeri.
Dengan tren kebijakan luar negeri yang cenderung introver, misi damai Jokowi menemui Presiden Volodymyr Zelensky di Kiev dan Presiden Vladimir Putin di Moskwa seolah membalik tangan.
Sikap publik dalam negeri beragam. Ada yang skeptis, ada yang mendukung dan menganggap misi damai Jokowi merupakan inisiatif yang sangat baik.
Di luar itu, ada juga sejumlah pengamat yang membuat kalkulasi lebih seksama baik secara positif maupun kritis. Tulisan ini lebih memilih berdiri dengan kacamata yang ketiga.
“Saya menyampaikan pesan Presiden Zelensky kepada Presiden Putin”, kata Jokowi setelah bertemu dengan Presiden Rusia di Kremlin (Kompas.com, 2/7/2022).
Apakah pesan khusus atau pesan Jokowi mengenai ancaman ketahanan pangan global jika perang berlanjut akan mengakhiri perang atau minimal menghentikan sementara pertempuran bersenjata?
Hemat penulis, kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia adalah sebuah langkah awal yang baik sekaligus batu pijakan bagi Indonesia untuk memainkan peran globalnya. Minimal sebagai persiapan menuju lima besar kekuatan ekonomi politik global di masa depan.
Baca Juga: Temui Putin, Jokowi Nyatakan Siap Jadi Jembatan Komunikasi dengan Zelensky
Lalu apa target misi damai Jokowi ke Ukraina dan Rusia? Sekadar mengamankan kepentingan Indonesia dalam mengemban presidensi G20 atau hendak menjalankan amanat konstitusi untuk menjaga perdamaian dunia dengan peran yang lebih aktif dan nyata? Jawabannya tentu terletak pada kapasitas dan peran yang ingin diambil Indonesia dalam percaturan dunia.
Negara besar biasanya memiliki kapasitas politik yang besar, seperti kekuatan politik dan militer, untuk mengubah atau memengaruhi tatanan global. Inilah "hard power".
Namun, tak sedikit negara menengah yang tak memiliki “kekuatan keras” bisa mengubah arah permainan. Misalnya, karena pengaruhnya meningkatkan tensi maupun sebaliknya, meredam konflik. Mereka mengandalkan "soft power" atas pengetahuan, sumber daya, posisi netral dan kepentingan ekonomi untuk memberi arah perubahan tatanan.
Indonesia memiliki modal “kekuatan lunak” ini. Dengan presidensi G20, skala kekuatan ekonomi politik yang berkembang pesat di level regional maupun global, serta pengalaman dalam resolusi konflik, Indonesia memiliki potensi kekuatan lunak yang bisa didayagunakan bagi perdamaian dunia.
Isu krisis pangan global yang diangkat Jokowi saat bertemu Putin selaras dengan “kekuatan lunak” ini. Tetapi, agar diplomasinya efektif dan tidak terkesan “megaphone diplomacy”, Indonesia perlu terlibat lebih aktif dan mengambil peran lebih besar.
Baca Juga: 4 Poin Penting Pertemuan Jokowi dan Putin di Moskow
Pilihan diplomasi “kekuatan lunak” dengan mengangkat isu ancaman ketahanan pangan global dalan sengkarut perang Ukraina-Rusia memang realistis bagi Indonesia.
Indonesia saat ini bukanlah powerful mediator (Hugh Miall - Oliver Ramsbotham - Tom Woodhouse, 1999). “Powerful mediator”, mediator yang “berotot”, memiliki sumber daya kursif berlimpah dan sebagai konsekuensinya, mampu mendikte arah angin.
Tetapi, bukan berarti Indonesia tak bisa mengambil peran lebih di kancah global. Miall, Ramsbotham & Woodhouse mengenalkan antitesanya: “powerless mediator”, mediator tanpa otot.
Ada dua bentuk soft power dalam peran “mediator tanpa otot”, yakni exchange power dan integrative power. Exchange power bertalian dengan pendekatan tawar-menawar dan kompromi. Inti pendekatannya, “lakukan yang aku inginkan dan aku akan lakukan apa yang kau inginkan”.
Sedangkan integrative power berkaitan dengan persuasi dan transformasi pemecahan masalah dalam jangka panjang.
Ringkasnya, “kita bisa lakukan bersama-sama demi hasil dan kebaikan bersama”.
Apakah dalam misi damai Jokowi ke Ukraina dan Rusia, Indonesia sudah mendayagunakan “kekuatan lunak” dan menjadi “mediator tanpa otot”?
Tentu, kunjungan luar biasa seorang Jokowi di negeri yang dilanda perang harus dimaknai sebagai langkah awal yang memerlukan tindak lanjut lebih jauh. Dengan tindak lanjut, maka exchange power atau bahkan integrative power yang potensinya dimiliki Indonesia bisa diwujudkan demi perdamaian dunia.
Mediasi diterjemahkan sebagai intervensi oleh pihak ketiga yang diterima semua pihak dengan sukarela. Dalam konflik, negosiasi didorong dan difasilitasi dalam forum mediasi. Dengan demikian, negosiasi adalah proses di mana pihak-pihak yang berkonflik mencari titik kesepakatan atau pemecahan masalah bersama.
Baca Juga: Temui Putin, Jokowi Nyatakan Siap Jadi Jembatan Komunikasi dengan Zelensky
Sedikitnya ada empat elemen dalam proses mediasi yang teridentifikasi dari studi perdamaian dan praktik konflik sepanjang abad ke-20 (Adam Curle, 1986).
Pertama, mediator harus mampu membangun, menjaga dan memperbaiki komunikasi di antara pihak yang bertikai.
Kedua, mediator menyediakan informasi untuk maupun di antara pihak yang bertikai.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.