YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Derajad Sulistyo Widhyharto berpendapat kerusuhan di Babarsari, Sleman, DI Yogyakarta bisa muncul karena pertumbuhan provinsi mendekati kota metropolis.
Derajad mengungkapkan regulasi yang berjalan di Yogyakarta tidak istimewa dan sama seperti perkembangan di kota besar lain yang mendekati metropolis.
"Wilayah Yogyakarta itu istimewa tetapi regulasinya tidak istimewa. Regulasinya seperti perkembangan kota Jakarta, Surabaya, dan lain-lain," tuturnya dikutip dari Antara, Rabu (6/7/2022).
"Provinsi ini tidak tumbuh istimewa seperti masyarakatnya, seperti keratonnya, jadi ini tumbuh seperti kota metropolis," lanjutnya.
Baca Juga: 5 Fakta Kerusuhan di Babarsari: Dipicu Keributan di Tempat Karaoke, Rusak Ruko dan Bakar Kendaraan
Derajad menjelaskan Yogyakarta yang menyandang predikat sebagai kota pelajar seharusnya membutuhkan ketenangan.
Sehingga pola pembangunan yang seharusnya ada menurutnya yakni berupa fasilitas ruang kerja atau belajar bersama (co-working space), bukannya mengundang konflik.
"Akan tetapi, kalau yang tumbuh kemudian adalah karaoke, hotel-hotel, apartemen, tidak ada bedanya dengan Jakarta, Surabaya, dan lain-lain," kata dia.
Ia menyayangkan regulasi yang ada di Yogyakarta dan seharusnya terefleksi dari kondisi masyarakat. Misalnya terkait dengan jam belajar di Yogyakarta, kini tidak berlaku lagi.
"Ke depan regulasi yang ada mestinya diadaptasikan dengan konsep istimewanya Yogyakarta. Kalau istimewa bagi pelajar adalah jam belajar, ini harus diperhatikan," kata dia.
Jam belajar yang semestinya menjadi hal yang istimewa malah tidak diikuti lagi karena kota telanjur tumbuh seperti kota metropolis.
Baca Juga: Kerusuhan di Babarsari: Siswa SMA Jadi Korban Salah Sasaran, Rusuknya Terhantam Batu, Diancam Pedang
Pertumbuhan kota bermasalah akibat ekonomi
Drajad menyoroti aktivitas perekonomian di Yogyakarta belum tumbuh secara inklusif. Hal ini menjadikan pertumbuhan kota jadi sedikit bermasalah karena tak ada keberpihakan kultur di tengah masyarakat.
"Justru yang kami lihat ekonomi di Yogyakarta, 'kan sepertinya merespons perkembangan kota besar, padahal kota-kota besar 'kan kehidupan ekonominya cenderung eksklusif," kata dia.
Padahal, Drajad berpendapat aktivitas perekonomian di Yogyakarta semestinya tumbuh inklusif dan selaras dengan budaya di Yogyakarta yang sudah menerima perbedaan suku dan adat.
"Perbedaan dengan Bali, misalnya. Di Bali memiliki pecalang atau polisi adat. Meski tidak perlu seperti itu, setidaknya aparat pemerintah daerah mestinya cara berpikirnya sudah inklusi," lanjutnya.
"Ini yang jadi masalah di Yogya, masyarakatnya sudah multikultur, inklusif tetapi bisnisnya belum inklusif. Ini yang harus diubah," tutur Derajad.
Sumber : Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.