JAKARTA, KOMPAS.TV - Kepala Biotech Center IPB University Dwi Andreas Santosa menyatakan, inflasi akibat harga pangan akan tetap mendominasi sepanjang tiga tahun mendatang. Harga pangan, pupuk, dan energi diperkirakan meningkat tinggi pada 2022, melandai pada 2023, dan melonjak lagi pada 2024.
"Inflasi karena pangan di 70 persen negara di dunia saat ini , lebih tinggi dibandingkan inflasi keseluruhan. Negara-negara dengan ketergantungan impor pangan tinggi seperti Indonesia akan mengalami dampak paling besar," kata Dwi seperti dikutip dari Harian Kompas, Rabu (22/6/2022).
Namun untuk saat ini, inflasi pangan belum benar-benar akan menyebabkan krisis pangan. Ia menilai, krisis pangan dunia terjadi jika dua faktor berlangsung bersamaan. Yaitu peningkatan harga dan penurunan produksi serealia dunia.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) sebelumnya menyatakan bahwa akan terjadi krisis pangan pada 2020 sebagai akibat pandemi Covid-19. Prediksi FAO tersebut tidak terjadi karena produksi pangan dunia justru mencapai rekor tertingginya dan harga pangan di awal pandemi Januari-Mei 2020 mengalami penurunan.
Baca Juga: Harga Pangan Melonjak di Inggris akibat Perang Rusia-Ukraina hingga Larangan Ekspor CPO RI
Prediksi kemudian dibuat lagi untuk 2021. Pasalnya, sejak Mei 2020 harga pangan terus merangkak naik. Kecuali Juni-Juli dan Desember 2021. Namun prediksi tersebut lagi-lagi tak terbukti.
"Mengapa demikian? Kenaikan indeks harga pangan dunia saat itu didominasi oleh kenaikan harga minyak nabati dan bukan karena kenaikan harga serealia dunia (gandum, beras, jagung, dan biji-bijian lainnya). Produksi serealia 2021 naik 0,7 persen dibandingkan dengan 2020 sehingga harga serealia dunia relatif stabil sepanjang 2021," jelas Dwi yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB277).
Nah, ancaman krisis pangan kembali datang tahun ini, seiring terjadinya perang Rusia-Ukraina. Peristiwa itu telah mengubah pola perdagangan, produksi, dan konsumsi berbagai komoditas.
Akibatnya, harga pangan dan energi menembus rekor tinggi sepanjang sejarah dan diperkirakan bertahan hingga akhir 2024.
Baca Juga: Dampak Perang Rusia-Ukraina terhadap Negara Miskin: Harga Pangan Naik, Utang Bertambah
Seperti diketahui, Ukraina adalah pemasok 12 persen gandum global dan merupakan produsen minyak bunga matahari terbesar. Akibat perang, produksi gandum Ukraina anjlok dan tidak bisa diekspor. Dwi mengatakan produksi gandum Ukraina akan turun 55 persen di 2022.
"Pertanian Rusia juga menghadapi kendala serius. Gangguan terkait iklim tidak ada, tapi sanksi dan embargo me-nyebabkan Rusia kekurangan pasokan alat-alat pertanian dan input produksi lainnya, dan ini akan menurunkan hasil pertanian Rusia. Selain itu, hambatan ekspor menyebabkan minat petani untuk berproduksi menurun," terang Dwi.
Ia menghitung, jika perang terus berlanjut, dunia akan kehilangan potensi produksi sebesar 60 juta ton gandum, 38 juta ton jagung dan 10,5 juta ton barley, demikian juga minyak nabati.
Kondisi itu akan sangat berdampak pada Indonesia, yang masih banyak mengimpor bahan pangan. Menurut Dwi, untuk terhindar dari bahaya krisis pangan, Indonesia harus mengurangi ketergantungan impor dan menggenjot produksi pangan.
Baca Juga: 10 Negara Batasi Ekspor Pangan & Pupuk Akibat Perang Rusia-Ukraina
"Satu-satunya upaya yang bisa dilakukan adalah meningkatkan produksi pangan yang ditempuh bukan melalui wacana maupun jargon, melainkan melalui upaya peningkatan harga di tingkat usaha tani," kata Dwi.
"Pemerintah perlu membalikkan kebijakan pangan yang saat ini terlalu berat ke konsumen menjadi ke produsen, Jika petani sejahtera, maka produksi pangan meningkat dan sejahteralah kita," sambungnya.
Sumber : Harian Kompas
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.