JAKARTA, KOMPAS.TV – Putri Gus Dur, Zannuba Arifah Hafsoh atau dikenal dengan nama Yenny Wahid, membeberkan tentang 10 kelompok di Indonesia yang tidak disukai.
Hal ini berdasarkan riset yang ia lakukan bersama Lembaga miliknya, Wahid Foundation, pada 2016 lalu dan diperbaharui pada 2017 dan disebutnya relevan dengan kondisi saat ini.
Dalam riset tersebut disebutkan, menurut Yenny Wahid, 10 kelompok ini menjadi kelompok yang paling tidak disukai oleh masyarakat Indonesia.
Kelompok ini diungkap Yenny Wahid saat memberikan Kuliah Umum di Institute Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) pada hari ini, Rabu (21/6/2022).
“Untuk mengukur intoleransi, kita mengkukur dulu orang yang tidak disukai lalu mengukur attitude masyarakat. Hasilnya, ada 10 kelompok yang tidak disukai masyarakat,” ujarnya diikuti KOMPAS.TV dari Youtube IPDN, Rabu (21/6/2022).
Hasilnya berdasarkan riset itu, tahun 2016 adalah LGBT 26.1%, Komunis 16.7%, Yahudi 10.6%, Kristen 2.2%, Syiah 1.3%, Cina 0.4%, Wahhabi 0.4%, Katolik 0.4%, Budha 0.4% dan Konghucu 0.1%.
Sedangkan, pada tahun 2017 10 besarnya tidak jauh berbeda di 10 besar tahun 2016.
Cuma bedanya tahun 2017 masuk kelompok ateis, konghuchu terlempar dari 10 besar.
Hasilnya, adalah Komunis 219%, LGBT 17.8%, Yahudi 7.1%, Kristen 3.0%, Ateis 2.5% Syiah 1.2%, Cina 0.7%, Wahhabi 0.6%, Katolik 0.5%, Budha 0.5%
“Data ini menunjukkan, naras yang berkembang selama ini adalah anti asing adan aseng. Tapi ktia lihat, anti aseng dari data itu, sentimen Tionghoa 0.6% dan tidak naik usai pilkada DKI,” ungkapnya.
Baca Juga: Riset: Yenny Wahid Kalahkan Cak Imin sebagai Capres Pilihan Warga NU
Baca Juga: PBNU Utus Duet Erick Thohir-Yenny Wahid Pimpin Panitia Satu Abad Nahdlatul Ulama
Ia pun menyebut, survei ini disebut sebelum gelaran Pilkada DKI 2016 lalu dan efek sesudah gelaran pada 2017.
“Kami beranggapan, setelah pilkada DKI naik, ternyata tidak. Kenapa? Karena berdasarkan riset, ternyata meskipun retorika kencang dibangun narasi yang anti aseng di kasus Ahok, ternyata tidak menjadikannya tinggi lagi,” paparnya.
Ia pun menyebut, alasan lain terkait dengan mitigasi dan interaksi masyarakat Tionghoa yang ada dan berinteraksi dengan masyarakat di sekitar.
“Akibat interaksi, ketidaksukaannya jadi kecil. Interaksi sesama warga jadi penting, itu jadi pelajaran penting,” imbuhnya.
Ia pun menyebut, ketidaksukaan itu lama-lama terkikis dengan dengan adanya interaksi antar masyarakat, tapi politik membelah hal itu.
"Narasi politik kadang melakukan pembelahan. Interaksi antara masyarakat jadi mitigasi narasi yang memecah masyarakat," imbuhnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.