Kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) diprediksi akan memberikan dampak berat bagi ekonomi Indonesia, salah satunya, membuat rupiah terus melemah.
Bank sentral AS (Federal Reserve) mengumumkan kenaikan suku bunga sebesar 0,75% menjadi 1,75% pada Rabu (15/06), demi menekan harga barang yang terus melonjak.
Itu adalah kenaikan suku bunga acuan tertinggi yang dilakukan bank sentral AS - yang dikenal dengan The Fed - selama 30 tahun terakhir.
Suku bunga bank yang lebih tinggi, telah memicu peningkatan permintaan dolar dan membuat nilai tukar dolar AS menguat 10% sejak awal tahun. Imbasnya, nilai mata uang lain melemah, termasuk rupiah.
Merujuk data Bloomberg, rupiah melemah 0,31% menjadi Rp 14.745 per dolar AS pada perdagangan Rabu (15/6).
Meski menguat pada Kamis (16/06) pagi, nilai tukar rupiah diprediksi akan bergerak melemah terhadap dolar AS karena efek dari kebijakan The Fed yang mengerek suku bunga sebesar 75 basis poin.
Baca juga:
Ini adalah kali ketiga bank sentral AS menaikkan suku bunganya sejak Maret, setelah inflasi di AS yang melonjak drastis bulan lalu.
Kenaikan suku bunga diperkirakan akan terus terjadi, yang nantinya akan memicu ketidakpastian ekonomi global.
Gubernur bank sentral Indonesia (Bank Indonesia) Perry Warjiyo menyebut kenaikan suku bunga The Fed adalah "risiko yang terus dimonitor dan antisipasi".
"Semoga tidak ada suatu surprises (kejutan) di global maupun domestik sehingga pemulihan ekonomi secara domestik terus berlanjut, stabilitas ekonomi dan keuangan terus terjaga, inflasi terus terjaga, nilai tukar [rupiah] terjaga," jelas Perry dalam seminar bertajuk Managing Inflation to Boost Economic Growth, Rabu (15/06).
Perry memperkirakan suku bunga The Fed akan naik menjadi 2,75% tahun ini, dan meningkat kembali tahun depan menjadi 3,25%.
Implikasi dari kenaikan suku bunga The Fed, bank sentral negara-negara lain akan menempuh langkah serupa yang akan menandai perubahan besar dalam ekonomi global.
Bisnis dan rumah tangga yang telah menikmati bunga pinjaman yang rendah selama bertahun-tahun, akan terpukul oleh kebijakan ini.
"Sebagian besar bank sentral negara maju dan beberapa bank sentral negara berkembang memperketat kebijakan secara sinkron," kata Gregory Daco, kepala ekonom di perusahaan konsultan strategi EY-Parthenon.
Adapun, PBB dan World Bank memperkirakan inflasi global yang terjadi saat ini akan menambah sekitar 75 juta - 95 juta penduduk miskin pada 2022, lebih buruk ketimbang perkiraan mereka sebelum pandemi.
Di Inggris, di mana harga konsumen melonjak 9% pada bulan April, bank sentral Inggris diperkirakan akan mengumumkan kenaikan suku bunga kelima sejak Desember pada hari Kamis (17/06).
Diperkirakan, suku bunga acuan bank sentral Inggris akan berada di atas 1% untuk pertama kalinya sejak 2009.
Brasil, Kanada dan Australia juga telah menaikkan suku bunga, sementara bank sentral Eropa telah menguraikan rencana untuk melakukan langkah serupa akhir musim panas ini.
Sementara suku bunga Amerika Serikat, yang telah dipangkas pada 2020 lalu demi menyokong ekonomi selama pandemi, telah dinaikkan sebanyak dua kali tahun ini, sebanyak 0,25% masing-masing pada bulan Maret dan Mei.
Gubernur The Fed, Jerome Powell menyebut kenaikan sebesar 0,75% adalah "luar biasa besar", seraya mengatakan pihaknya melakukan langkah itu guna meredam inflasi dan menstabilkan harga.
"Sangat penting bahwa kita menurunkan inflasi," katanya
"Kenaikan inflasi selama setahun terakhir jelas mengejutkan dan kejutan lebih lanjut bisa terjadi," katanya.
"Karena itu, kami harus gesit."
Mengejar ketertinggalan
Kenaikan harga barang di AS telah terjadi sejak tahun lalu. Namun saat itu, Powell mengeklaim itu disebabkan oleh masalah rantai pasokan.
Akan tetapi, inflasi terus meningkat tajam sejak saat itu, disebabkan oleh perang di Ukraina dan lockdown di China akibat pelonjakan kasus Covid.
Survei terbaru menunjukkan publik memperkirakan inflasi akan terus memburuk, meskipun The Fed telah meresponsnya dengan menaikkan suku bunga.
"The Fed menghadapi tes kredibilitas inflasi," kata ekonom David Backworth, peneliti senior dari Mercatus Center di Universitas Goerge Mason.
Warga AS, Ignacio Lopez, sangat ingin melihat inflasi terkendali.
Selama 18 bulan terakhir, koki yang berbasis di Boston itu terdampak kenaikan harga makanan saat dia membeli makanan untuk restorannya.
Harga barang-barang dengan rantai pasokan yang rumit, seperti barang kemasan dan keju impor, sangat tertekan, katanya.
"Ini gila dan tidak berhenti," katanya.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.