JAWA TENGAH, KOMPAS.TV- Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengaku tidak pernah merasa dibuang tapi disayang oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Hal itu disampaikan Ganjar Pranowo dalam program Aiman KOMPAS TV dengan tema “Ganjar Buka-bukaan”, Senin (13/6/2022).
“Enggak, saya enggak pernah dibuang, saya masih di kandang,” ucapnya.
Ganjar juga merasa dirinya bukanlah sosok yang tidak dikehendaki di PDI Perjuangan, sebagaimana tudingan sejumlah pihak selama ini.
“Ibu itu biasa dan pengalaman ibu itu banyak ya, Mega-Prabowo, Mega-Hasyim, terus kemudian, apa namanya pada saat Pak Jokowi kemudian direkomendasi prosesnya sangat dinamis dan Ibu dengan pengalaman politik, saya kira reflek-reflek politiknya itu sudah luar biasa,” ujarnya.
Baca Juga: Ganjar Dibuang, Ganjar Disayang
“Maka sebenarnya di PDI Perjuangan kalau ada survei-survei enggak usah GR, satu. Kalau ada statement-statement di publik nggak usah GR ya, karena apa? keputusan itu semua diserahkan kepada Ketua Umum, selesai.”
Ganjar mengatakan, yang terjadi selama ini dirinya selalu diberikan nasehat oleh Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri agar apa yang menjadi tanggung jawabnya sebagai kepala daerah diselesaikan dengan baik.
Satu di antaranya adalah persoalah Rob di Semarang.
“Saya ‘dijewer’ Bu Mega sering, ya waktu dimarahin, hei Robnya diberesin. Jadi ada banyak perintah-perintah, pesan-pesan yang disampaikan kepada kita dan ketika kita menjalankannya tidak baik, ya Ibu menjewer anaknya biasa,” ujar Ganjar.
Baca Juga: Ganjar Ceritakan Kondisi Jasad Eril: Utuh, Wangi, dan Wajahnya Segar
Termasuk, kata Ganjar, jika ada kritik yang disampaikan sejumlah koleganya di PDI Perjuangan terhadap kepemimpinannya di Jawa Tengah, menurutnya itu adalah vitamin.
“Kalau itu aktornya adalah saya, buat saya itu, kritik itu vitamin. Vitamin itu kalau kritik dalam bentuk kritik yang pedas dan dilakukan oleh teman, berarti dia sayang sama saya,” katanya.
Bahkan Ganjar tidak mempermasalahkan sekali pun kritik itu disampaikan secara terbuka di publik.
“Biasa, PDIP itu tempatnya keras, ini hanya keras di kata-kata, 1996 itu kerasnya sampai fisik, 27 Juli, itu semua tahu,” ucapnya.
“Kebetulan saya mulai aktif di partai sejak PDI, belum perjuangan dan itu tahun 1992 saya masih mahasiswa, apa artinya, saya mengikuti betul dinamikanya, bagaimana seorang Ibu, Bu Mega itu ‘digebukin’ sampai kaya gitu, orde baru menindas habis-habisan. Sampai Ibu menjadi simbol perlawanan.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.