JAKARTA, KOMPAS.TV- Pemerintah telah melarang ekspor minyak goreng dan minyak sawit mentah (CPO). Namun, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai kebijakan itu tidak akan bertahan lama, bahkan prediksinya dibatalkan sebelum 28 April 2022.
"Kebijakan itu cuma gertak sambal karena pemerintah frustasi Harga Eceran Tertinggi (HET) dan Domestic Market Obligation (DMO) tidak berhasil kendalikan harga minyak goreng. Sehingga 2 kebijakan itu juga umurnya pendek," kata Bhima dalam keterangan tertulisnya kepada Kompas TV, Senin (25/4/2022).
Ia mengatakan, Indonesia akan diprotes negara-negara yang membutuhkan komoditas CPO dari Indonesia.
"India, China, Pakistan yang akan memberikan respon karena mereka importir CPO terbesar dan merasa dirugikan dengan kebijakan ini," sebut Bhima.
Baca Juga: PKB Minta Jokowi Tinjau Ulang Kebijakan Larang Ekspor Minyak Goreng, Ini Alasannya
Biaya produksi manufaktur maupun harga barang konsumsi di tiga negara tersebut akan naik signifikan dan Indonesia yang disalahkan.
Dalam kondisi terburuk, bisa menimbulkan retaliasi atau pembalasan yakni negara yang merasa dirugikan akan menghentikan mengirim bahan baku yang dibutuhkan Indonesia.
"Seperti ekspor kedelai atau gandum yang ditahan misalnya oleh India, kan repot itu," ujarnya.
Bhima menyatakan, kalau hanya untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, pemerintah tidak perlu stop ekspor. Pasalnya kebijakan itu hanya mengulang kesalahan larangan ekspor batubara pada Januari 2022 lalu.
Baca Juga: Usai Pelarangan Ekspor Minyak Goreng & Bahan Baku, Nasib Produk Turunan CPO Masih Tanda Tanya
Kebijakan itu hanya bertahan selama sekitar 2 pekan. Di pekan pertama, pemerintah bahkan sudah menggelar rapat untuk membahas protes dari sejumlah negara seperti Jepang dannKorea Selatan.
"Apakah masalah selesai? Kan tidak. Justru diprotes oleh calon pembeli di luar negeri. Cara-cara seperti itu harus dihentikan," ucap Bhima.
Yang harusnya dilakukan, lanjut Bhima, adalah cukup mengembalikan kebijakan DMO CPO 20 persen. Jumlah itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pemerintah juga perlu memperketat pengawasan pada sisi produsen dan distributor.
Apalagi, minyak goreng dan CPO memberikan pemasukan yang cukup besar untuk negara. Selama bulan Maret 2022 saja, ekspor CPO nilainya 3 miliar dollar AS.
Baca Juga: KSAL Yudo Margono Perintahkan TNI AL Tangkap Pengekspor Minyak Sawit Usai Ada Larangan Jokowi
Sehingga, jika larangan ekspor berlaku selama 1 bulan, pemerintah akan kehilangan pendapatan sebesar itu atau sekitar Rp42,9 triliun (asumsi kurs Rp14.300).
Di sisi lain, pelarangan ekspor juga akan untungkan Malaysia sebagai pesaing CPO Indonesia. Negara lain yang memproduksi minyak nabati alternatif juga akan diuntungkan. Seperti soybean oil, rapseed oil dan sunflower oil yang diproduksi AS dan negara di Eropa.
"Estimasi produksi CPO setahun 50 juta ton, sementara penggunaan untuk minyak goreng hanya 5-6 juta ton alias 10 persennya. Sisanya mau disalurkan ke mana kalau stop ekspor? Kapasitas industri di dalam negeri tidak sanggup menyerap kelebihan pasokan CPO," jelas Bhima.
"Tolong pak Jokowi pikirkan kembali kebijakan yang tidak solutif ini. Pembisik Pak Jokowi juga jangan asal kasih saran kebijakan yang merugikan ekonomi," sambungnya.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.