JAKARTA, KOMPAS.TV - Sosok kiai ini terlukis dalam uang kertas pecahan Rp5.000 dan merupakan tokoh dengan predikat komplet: Ulama, pejuang, politisi, tokoh dan seorang pahlawan nasional. Nama sosok ini biasa dipanggil Kiai Idham Chalid.
Kiai Idham atau KH Idham Chalid adalah ulama berpengaruh dan disebut sebagai mahaguru politik dari orang-orang Nahdlatul Ulama (NU). Pemikiran dan pengaruhnya terus mengalir hingga saat ini.
Begitu kuat pengaruhnya dalam dunia politik dan keulamaan di Indonesia membuat pemerintah Indonesia menobatkannya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2011 lalu, berdasarkan SK Keppres Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November 2011.
Sosok kelahiran Satui, Kalimantan Selatan, pada 27 Agustus 1921 ini jadi putera Banjar yang mendapatkan gelar Pahlawan Nasional setelah Hasan Basry dan Pangeran Antasari.
Begitu kuat pengaruhnya sosok Kiai Idham Cholid dalam lanskap politik keumatan dalam sejarah, membuat Ahmad Syafi’I Maarif, Tokoh Bangsa sekaligus Guru Besar Sejarah Universitas Yogyakarta, menyebut Kiai Idham Chalid sebagai figur puncak politik di NU dalam sejarah.
“Pada masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno adalah sesepuh bangsa Indonesia secara keseluruhan, sementara dalam kubu NU, Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Idham Chalid adalah figur puncak yang menentukan secara mutlak warna politik NU,” tulisnya dalam buku Percaturan Islam dan Politik (2021) Hal 129.
Baca Juga: Sosok dan Jejak Muhammad Zainuddin Abdul Madjid: Ulama Kharismatik NTB, Pendiri Nahdlatul Wathan
Dikutip dari buku Idham Chalid: Guru Politik orang NU (2017) yang ditulis Ahmad Muhadjir, sosok Idham muda memang sudah lekat dengan dunia para ulama. Ia juga dikenal sebagai orang yang cerdas dan berbakat dari kecil.
Sedari kecil, kemampuan berpikir dan berorasi Idham Chalid begitu kuat. Kelak, di kemudian hari, gaya retorika di panggung bisa sangat membius sejak menempuh pendidikan di sekolah rakyat (SR) hingga menjadi santri di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jatim pada 1922.
“Kelak, kemampuan pidatonya diakui secara luas di kancah nasional, baik sebagai penceramah, jurkam ataupun pengajar. Kemampuan ini dikombinasikan dengan kecerdasan dan kerendahan hati jadi modal bagi perjalanannya di dunia politik,” tulisnya di Hal 21.
Saat masa revolusi, lewat kemampuan berbahasa yang ia miliki, Jepang, Inggris, dan Arab, ia jadi penyambung lidah para ulama dengan Jepang, mulai dari penerjemahan surat hingga urusan diplomasi.
Ketika merdeka, ia lantas tergabung di sejumlah organisasi dan ikut juga tergabung dengan Masyumi.
Lantas, ketika NU keluar dari Masyumi karena perbedaan politik, ia pun bergabung dengan Partai NU yang dibawanya menjadi besar hingga menjadi salah satu kekuatan terbesar di zaman itu.
NU jadi partai besar, bahkan pada Pemilu 1955 yang dianggap para sejarawan jadi pemilu paling demokratis dalam sejarah, NU dibawanya memperoleh suara nomor 3 setelah PNI dan Masyumi.
Waktu itu, dalam metode berpikir KH Idham Chalid, harus ada unsur agama yang berada di kekuasaan. Biar unsur umara, konsep untuk kepemimpinan, harus ada penyeimbang, yakni unsur ulama agar segala keputusan nantinya tetap berada di tengah.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.