JAKARTA, KOMPAS.TV – Suatu ketika Nabi Muhammad kedatangan seorang perempuan usai mengisi majlis di Masjid Nabawi. Tiba-tiba saja, perempuan itu muncul di hadapan beliau.
Perempuan itu tampak galau. Ibunya wafat dan ia ingin menggantikan apa yang diinginkan ibunya, tapi tidak kesampaian.
“Wahai, Rasulullah. Aku begitu mencintai ibuku. Suatu ketika, aku memberi ibuku seorang sahaya perempuan. Tapi baru-baru ini ibuku wafat,” katanya.
“Engkau anak yang baik, engkau pasti mendapat pahala. Dan sahaya itu jadi milikmu,” kata Nabi begitu lembut.
Perempuan itu tampak ragu. Ia sedikit gusar dan hendak bertanya, tapi terlalu takut.
“Wahai Rasulullah, bolehkah mengajukan pertanyaan lain?” tanyanya.
Rasulullah pun mempersilakan perempuan tersebut untuk mengutarakan isi hatinya. Apalagi, ia melihat perempuan tadi begitu bersungguh-sungguh.
“Wahai, Nabiku, ibuku punya utang puasa. Sebulan lamanya. Apakah boleh aku berpuasa atas nama ibuku?” tanya perempuan itu dengan rasa ingin tahu.
Nabi tersenyum.
“Berpuasalah atas nama ibumu,” jawabnya, santun dan ramah.
“Wahai Rasul, ibuku juga pernah bernazar akan melaksanakan haji, tapi dia meninggal sebelum melaksanakannya. Bolehkah aku berhaji atas nama ibuku?” tanyanya.
Nabi kembali tersenyum.
“Silakan, naik hajilah engkau atas nama ibumu. Bukankah andaikan ia punya utang, engkau akan melunasinya? Karena itu, tunaikanlah utang Allah SWT. Sebab utang kepada-Nya lebih patut ditunaikan,” jawab beliau.
Begitulah kisah seorang perempuan yang sempat galau. Nabi pun menjawab dengan kesantunan yang luar biasa. Sebuah kisah hikmah tentang cinta seorang anak pada ibunya.
*Kisah ini disarikan dari buku Pesona Ibadah Nabi (Mizania, 2015) karya Ahmad Rofi' Usmani.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.