PARIS, KOMPAS.TV — Tidak ada lagi jilbab muslim di tempat-tempat umum di seluruh Prancis. Semua anak sekolah berseragam. Undang-undang diusulkan dan disahkan melalui referendum. Layanan sosial yang murah hati tidak tersedia bagi orang asing kecuali mereka telah bekerja selama lima tahun.
Itu hanya contoh visi Marine Le Pen untuk Prancis jika pemimpin sayap kanan itu menang melawan petahana Emmanuel Macron dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) putaran kedua pada Minggu (24/4/2022).
Dalam segala hal, Prancis, dan orang Prancis akan didahulukan, seperti laporan Associated Press, Jumat (22/4/2022).
Jajak pendapat menggambarkan Macron sebagai yang terdepan dalam pemungutan suara pada Minggu, tetapi kemenangan Le Pen mungkin terjadi, dan akan menjadi sebuah hasil yang dapat mengguncang sistem pemerintahan Prancis.
Hal itu menimbulkan kekhawatiran di antara para imigran dan kaum muslim Prancis, mengguncang dinamika 27 negara Uni Eropa, dan membuat sekutu NATO bingung.
Macron, 44 tahun, adalah seorang sentris yang sangat pro-Uni Eropa, dan tanpa henti mengecam musuhnya sebagai berbahaya, dan membingkai pertarungan mereka dalam Pilpres sebagai pertempuran ideologis untuk jiwa bangsa.
Le Pen, 53 tahun, memandang Macron sebagai teknokrat progresif yang menganggap Prancis hanyalah "wilayah" dari Uni Eropa.
Le Pen mengatakan akan memperlengkapi kembali sistem politik negara dan Konstitusi Prancis untuk mengakomodasi agenda populisnya, menempatkan Uni Eropa di tempat kedua dan membuat Prancis kembali ke jati diri dan prinsip-prinsip dasarnya.
"Saya bermaksud menjadi presiden yang mengembalikan suara rakyat di negara mereka sendiri," kata Le Pen.
Kritikus takut akan ancaman demokrasi di bawah Le Pen, seorang nasionalis yang nyaman dengan perdana menteri otokratis Hongaria, Viktor Orban, dan partai sayap kanan anti-imigran di tempat lain di Eropa.
Le Pen bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin sebelum Pilpres Prancis 2017, di mana dia kalah telak dari Macron.
Baca Juga: Macron Menentang Larangan Hijab Le Pen, Sebut Prancis Terancam Perang Saudara jika Itu Terjadi
Amerika Serikat menganggap Prancis sekutu tertuanya, tetapi kepresidenan Le Pen dapat menimbulkan masalah bagi pemerintahan Presiden Joe Biden dengan merusak persatuan trans-Atlantik atas sanksi terhadap Rusia dan dengan memperkuat populis otokratis di tempat lain di Eropa.
Pemimpin partai National Rally Le Pen juga memandang curiga kesepakatan perdagangan bebas dan akan mencari sikap yang lebih independen untuk Prancis di PBB dan badan multilateral lainnya.
Dalam kolom yang diterbitkan Kamis (21/4/2022) di beberapa surat kabar Eropa, para pemimpin kiri-tengah Jerman, Spanyol dan Portugal yang semuanya mendukung Macron, memberi peringatan tentang “populis dan ekstrem kanan” yang menganggap Putin “sebagai model ideologis dan politik, dan mereplikasi ide-ide chauvinisnya.”
“Mereka menggemakan serangan terhadap minoritas dan keragaman, dan tujuannya adalah untuk keseragaman nasional,” tulis Kanselir Jerman Olaf Scholz, Perdana Menteri Spanyol Pedro Sánchez dan Perdana Menteri Portugis António Costa.
Pertemuan Le Pen lima tahun lalu dengan Putin menghantui kampanyenya di tengah serangan Rusia di Ukraina, meskipun dia mengutuk invasi Rusia “tanpa ambiguitas.”
Tetapi jika menjadi presiden, Le Pen mengatakan, dia akan berpikir dua kali untuk memasok senjata ke Ukraina dan akan menentang sanksi energi terhadap Moskow, demi dompet rakyat Prancis dan demi rakyat Rusia.
Le Pen juga mengatakan dia akan menarik Prancis keluar dari komando militer NATO, yang dianggap akan melemahkan front persatuan aliansi militer Barat melawan Moskow.
Ia juga menganggap harus ada "perbaikan hubungan strategis" dengan Rusia setelah perang berakhir, menggemakan posisi masa lalu Macron, yang telah mencoba menjangkau Putin.
Baca Juga: Capres Prancis Larang Sembelih Hewan untuk Daging Halal, Kaum Muslim dan Yahudi Ketar-ketir
Namun, pemerintahnya mengatakan telah mengirim lebih dari 100 juta euro senjata ke Ukraina sejak perang dimulai, dan Prancis menjadi pusat sanksi Barat yang semakin keras terhadap Rusia.
Le Pen memproyeksikan citra pengasuhan sepanjang kampanyenya, dengan mengatakan dia akan mengawasi Prancis sebagai "ibu dari keluarga."
Sumber : Kompas TV/Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.