JAKARTA, KOMPAS.TV - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya mengatakan, terma nonmuslim atau kafir yang selama ini jadi perdebatan sudah tidak relevan lagi digunakan dalam konteks bernegara, khususnya dalam negara modern.
Gus Yahya juga menegaskan, hal ini sudah sesuai dengan keputusan ulama-ulama di NU yang menyebut kata nonmuslim maupun kafir harusnya tidak dipakai dalam negara modern.
Hal itu disampaikan oleh Gus Yahya dalam diskusi 'Turn Back Islamophobia' yang digelar oleh Komisi HLNKI MUI yang disiarkan di YouTube MUI, seperti dilihat Kamis (31/3/2022).
"Kami juga telah membuat wacana baru tentang status nonmuslim ini, dengan menyatakan para ulama kami pada waktu itu membuat kesimpulan bahwa kategori nonmuslim atau kafir sesungguhnya tidak relevan dalam konteks negara bangsa modern," ujarnya.
Keputusan Gus Yahya merujuk pada keputusan Munas Alim Ulama NU tahun 2019 di Banjar Jawa Tengah tentang penggunaan istilah kafir yang dianggap tidak relevan lagi dalam konteks negara modern.
Gus Yahya dalam kesempatan itu juga menjelaskan islamofobia yang sedang menggejala secara global bukanlah gejala baru. Namun ada juga soal kafirobia yang juga menggejala di tubuh Islam itu sendiri.
"Islamofobia ini bukan gejala baru. Ini sesuatu yang sudah lama mengendap dalam sejarah pergaulan antar agama. Mengendap sebagai mentalitas nonmslim di pelbagai belahan dunia, bahkan sudah dimapankan kurang lebih dalam wacana keagamaan mereka di lingkungan-lingkungan nonmuslim itu," kata Gus Yahya.
"Di sisi lain sebetulnya kita harus akui juga dari kalangan Muslim ada juga kafirofobia juga. Dan kafirofobia ini mengendap juga sebagai mentalitas di kalangan umat Islam, bahkan juga masuk di dalam wacana-wacana keagamaan di lingkungan Islam," kata mantan Jubir Presiden Gus Dur itu.
"Kalau saya sebut kafirofobia ini bisa kepada siapa saja yang nonmuslim, apakah judiofobia, kristofobia, atau hindufobia dan sebagainya. Secara umum itu juga masuk dalam wacana keagamaan Islam itu sendiri," ujarnya.
Baca Juga: Didatangi Firli Bahuri, Gus Yahya: Dari Hati ke Hati, Bicara Korupsi dan KPK
Gus Yahya lantas menjelaskan soal akar konflik nonmuslim dan muslim yang terjadi sepanjang sejarah. Hal ini akhirnya jadi cara berpikir yang saat ini mengendap dalam Islam.
"Kenapa kita punya yang seperti ini? Baik di lingkungan nonmuslim ada islamofobia, di lingkungan umat Islam ada kafirofobia, karena kita mewarisi sejarah dari konflik yang panjang sekali selama berabad-abad antara Islam atau dunia Islam melawan dunia nonmuslim," ujarnya.
"Misalnya seperti selama era Turki Usmani 700 tahun dari kekuasaan Turki Usamani itu, tidak pernah berhenti sama sekali kompetisi militer melawan kerajaan-kerajaan Kristen Eropa di Barat, begitu juga di timur ada Dinasti Mughal yang sepanjang waktu yang cukup lama terlibat konflik yang sangat tajam dengan umat Hindu di India, khususnya India bagian utara," ucapnya.
Nah, yang terjadi sebetulnya, lanjut Gus Yahya, sejak dulu di dunia memang terjadi rimba persaingan antar-identitas, termasuk identitas-identitas agama.
"Di situ kerajaan-kerajaan dengan identitas agama, negara-negara dengan identitas agama berkonflik satu sama lain, bersaing secara politik dan militer dengan membawa label agama masing-masing," katanya.
Turki Islami pakai Islam, lalu di Eropa kerjaaan-kerajaan Katolik dan semacamnya. Atau anglikan seperti Inggris. Masing-masing berkompeteisi ketat dan tajam dan diwarnai pertarungan militer sepanjang zaman beratus-ratus tahun.
"Ini sejarah konflik yang kita warisi sekian lama, dinamika konflik identitas memuncak sampai PD 1 dan PD 2. Dengan akibat tragedi kemanusiaan luar biasa besar. Justru tragedi itu memberi kesadaran internasional tentang tata dunia baru yang lebih damai," ujarnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.