JAKARTA, KOMPAS.TV - Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengurangi hukuman penjara bagi mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menjadi 5 tahun merupakan preseden buruk bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Akhirnya saya mengambil konklusi bahwa ini (putusan MA) menjadi preseden yang buruk apalagi ini di level MA yang produknya dianggap sebagai yurisprudensi," kata Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh dalam keterangannya yang dikutip pada Jumat (11/3/2022).
Baca Juga: Reaksi KPK Setelah MA Sunat Vonis Edhy Prabowo Jadi 5 Tahun Penjara
Pangeran menjelaskan, ada beberapa pendekatan untuk menjawab apakah putusan MA tersebut menjadi preseden buruk pemberantasan korupsi.
Pertama, penjelasan juru bicara MA yang mengatakan bahwa faktor jasa Edhy Prabowo terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan dianggap begitu besar.
Pangeran mempertanyakan alasan itu, apakah di level MA masih bisa menilai secara judex facti padahal selama ini MA adalah menilai secara judex juris.
"Karena itu menjadi aneh secara hukum hal tersebut menjadi pertimbangan padahal secara tugas dan fungsi siapapun jadi pejabat tentu amanah yang di emban harus menyejahterakan rakyat," ujarnya.
Baca Juga: Pengamat Hukum Nilai Hukuman Edhy Prabowo Bisa Lebih Rendah Lagi, tapi Jadi Bahan Tertawaan
Dia menjelaskan, pendekatan kedua yaitu tindak pidana yang dilakukan dalam kondisi pandemi, semua pihak sempat heboh bagaimana hukum mengatur apabila korupsi dilakukan saat negara dalam keadaan darurat tentu hukumannya semakin berat.
Menurut dia, apakah itu menjadi pertimbangan, sehingga Putusan MA tersebut tidak logis. Karena itu, Pangeran mengatakan, Komisi III DPR akan mempertanyakan kepada MA terkait putusan tersebut dalam konteks pengawasan kinerja kelembagaan.
"Sudah menjadi keharusan setiap lembaga negara di bidang kekuasaan apapun harus dikontrol dan dievaluasi apalagi negara ini menganut paham cheks and balances," katanya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.