JAKARTA, KOMPAS.TV - Amnesty International menyebut keputusan pemerintah Amerika Serikat (AS) mengambil separuh dari aset Afghanistan yang dibekukan untuk diberikan kepada keluarga korban serangan 9/11, zalim.
Pada 11 Februari 2022, Presiden AS Joe Biden menandatangani perintah eksekutif yang akan membagi dua aset Afghanistan yang dibekukan di negara itu senilai USD7 miliar.
Rencananya, setengah dari aset itu akan digunakan untuk dana bantuan kemanusiaan bagi Afghanistan, sedangkan setengahnya untuk kompensasi korban serangan teroris 9/11.
"Keputusan itu tidak logis dan zalim. Ini harus dibatalkan," kata Amnesty International dalam pernyataannya, Selasa (22/2/2022).
Amnesty mengatakan, pihaknya telah lama menyerukan agar para keluarga korban dan penyintas serangan teroris 11 September 2001 diberikan kompensasi.
"Tetapi aset mata uang asing Afghanistan bukan milik otoritas de facto Taliban atau para pelaku serangan tersebut. Dana ini yang dikumpulkan selama 20 tahun, adalah milik rakyat Afghanistan."
Baca Juga: Mantan Menlu Inggris: Barat Akibatkan Kerusakan Parah di Afghanistan
Dalam pernyataannya, Amnesty menyalahkan terutama Taliban atas penderitaan rakyat Afghanistan saat ini.
Namun, kebijakan-kebijakan pemerintahan Biden dianggap turut berkontribusi pada situasi mengerikan yang terjadi saat ini di Afghanistan.
Amnesty merujuk pada keputusan Gedung Putih untuk membekukan aset bank sentral Afghanistan dan menghentikan bantuan pembangunan setelah Kabul jatuh ke tangan Taliban.
"Pendekatan pemerintah AS itu mengunci Afghanistan keluar dari sistem keuangan global dan turut memicu krisis likuiditas yang membuat hampir mustahil bagi rakyat Afghanistan untuk membeli makanan."
Sementara di saat bersamaan, kata Amnesty, harga-harga makanan melonjak signifikan.
Belum lama ini, mantan Menteri Luar Negeri Inggris David Miliband juga mengecam kebijakan negara-negara Barat yang menurutnya telah membiarkan rakyat Afghanistan kelaparan.
"Jika kita ingin menciptakan negara yang gagal, kita tidak memiliki paduan kebijakan yang lebih efektif daripada yang kita punya saat ini," kata Miliband kepada The Guardian.
Sumber : CGTN/Amnesty International
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.