TEHERAN, KOMPAS.TV — Ribuan mobil dan sepeda motor berpawai di Teheran, ibu kota Iran, untuk memperingati 43 tahun Revolusi Islam Iran 1979 pada Jumat (11/2/2022).
Melansir Associated Press, pawai dimulai dari beberapa titik, berkumpul di titik pertemuan biasa di Alun-alun Azadi di Teheran. Media pemerintah mengatakan ratusan ribu orang terlibat dalam perayaan itu, sementara TV pemerintah Iran menayangkan kerumunan di banyak kota besar dan kecil.
Perayaan itu dilakukan saat perundingan dengan kekuatan dunia berlanjut di Wina, Austria. Perundingan itu bertujuan menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Teheran yang kini berantakan akibat mundurnya Amerika Serikat saat diperintah Donald Trump.
Mantan Presiden Donald Trump menarik Amerika Serikat dari kesepakatan pada 2018 dan memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran. Menanggapi keputusan Trump tersebut, Iran pun secara bertahap mengingkari komitmennya.
Presiden Ebrahim Raisi mengatakan, Iran sedang mencari kebijakan luar negeri yang seimbang, tetapi akan mengambil "langkah besar" untuk kemandirian ekonomi lebih lanjut.
“Kami tidak pernah menaruh harapan ke Wina dan New York,” katanya dalam pidato sebelum salat Jumat di Masjid Mosalla, Teheran utara.
Baca Juga: Suami Penggal Istri di Iran, Publik Geger dan Pertanyakan Hukum Perlindungan Perempuan
Sekretaris pers Gedung Putih Jen Psaki mengatakan pada Rabu (9/2), kesepakatan sudah "di depan mata". Tetapi ia memperingatkan, "jika itu tidak tercapai dalam beberapa minggu mendatang, maka akan tidak mungkin" bagi Amerika Serikat untuk kembali ke kesepakatan.
Masyarakat mengibarkan bendera Iran, meneriakkan slogan-slogan dan membawa plakat bertuliskan "Matilah Amerika" dan "Matilah Israel" dalam perayaan itu. Perayaan itu merupakan sebuah peringatan untuk pemberontakan yang menggulingkan monarki yang didukung Barat dan membawa kubu Islamis Syiah ke tampuk kekuasaan.
Beberapa kelompok di Teheran dan di tempat lain membakar bendera Amerika Serikat dan Israel, sebuah ritual rutin di setiap unjuk rasa di Iran.
Pada perayaan tahun ini, pawai kendaraan dibatasi untuk kedua kalinya karena pandemi Covid-19. Pihak berwenang mengatakan, Omicron sudah menjadi varian dominan di Iran. Rumah sakit pun mulai bersiap menghadapi gelombang infeksi baru.
Dengan lebih dari 130.000 total kematian menurut angka resmi, Iran memiliki angka kematian nasional tertinggi di Timur Tengah.
Iran dikatakan telah memvaksinasi sekitar 80 persen dari populasinya yang berusia di atas 18 tahun dengan dua suntikan. Kendati begitu, hanya 27% dari kelompok itu yang sudah mendapat suntikan ketiga.
Baca Juga: Iran Pamer Rudal Baru, Diklaim Bisa Jangkau Pangkalan Militer AS dan Israel
Revolusi Islam Iran dimulai dengan kerusuhan yang meluas atas pemerintahan Syah Mohammad Reza Pahlavi. Syah, yang diam-diam mengidap penyakit kanker yang mematikan, melarikan diri dari Iran pada Januari 1979.
Ayatollah Ruhollah Khomeini kemudian kembali dari pengasingan dan pemerintah jatuh pada 11 Februari 1979, setelah unjuk rasa massa dan konfrontasi antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan berlangsung selama berhari-hari.
Pada April 1979, rakyat Iran memilih untuk menjadi Republik Islam, sebuah teokrasi Syiah dengan Khomeini sebagai pemimpin tertinggi pertama negara itu. Ia berperan sebagai pemberi keputusan akhir tentang semua masalah negara.
Ketika AS kemudian mengizinkan Syah masuk ke Amerika Serikat untuk pengobatan kanker di New York, kemarahan memuncak di Teheran yang mengarah pada pengambilalihan Kedutaan Besar AS pada November 1979 oleh mahasiswa militan. Krisis penyanderaan berikutnya mengobarkan permusuhan Iran dan AS selama beberapa dekade.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.