Komnas HAM mengatakan kekerasan yang terjadi di kerangkeng milik Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Parangin-angin dilakukan dengan berpola, dan para penghuni itu bekerja di kebun sawit tanpa dibayar.
"Kekerasan yang berpola itu, kami tahu waktunya, kami tahu apa alat yang digunakan, kami tahu siapa yang melakukan, kami tahu pengawasan untuk itu… (Keterlibatan Terbit dalam kekerasan) sedang kami dalami," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam usai meminta keterangan Terbit selama dua jam di KPK, Jakarta, Senin (07/12).
Anam juga menegaskan, Terbit telah mengakui bahwa para penghuni kerangkeng bekerja di pabrik sawit miliknya tanpa dibayar.
"Bekerja di pabrik sawit (milik Terbit), Kami sudah cek pabriknya. Iya (tanpa bayaran)," tambah Anam.
Selanjutnya, kata Anam, Komnas HAM akan memanggil ahli hukum untuk melihat apakah yang dilakukan Terbit masuk dalam kategori tindak pidana perdagangan orang (TPPO), perbudakan modern, atau kejahatan lainnya.
Baca juga:
Komnas HAM mengatakan berdasarkan informasi terakhir yang diterima, terdapat sekitar 52 orang penghuni di kerangkeng yang telah ada sejak 2010, sekitar 12 tahun itu.
Anam menambahkan, dalam kondisi "penjara" kerangkeng itu ditemukan adanya "tindak kekerasan, bentuk kekerasan, pola kekerasan, sampai alat kekerasannya.. termasuk juga hilangnya nyawa. Sekarang sekitar tiga (meninggal), dan sedang didalami karena potensial bertambah."
Komnas juga menambahkan bahwa Kepolisian Sumatera Utara akan segera menaikan kasus kekerasan itu ke tahap penyidikan, dengan menetapkan tersangka.
Sebelumnya, Komnas HAM menemukan lebih dari satu orang tewas karena tindak kekerasan saat berada di dalam kerangkeng Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Parangin-angin.
"Dan bagaimana kondisi jenazah, kami dapat keterangan dari lebih dari dua saksi. Jadi firm [terkonfirmasi], kekerasan terjadi di sana, korbannya banyak," kata Anggota Komnas HAM, Choirul Anam dalam keterangan melalui rekaman video kepada media, Minggu (30/01).
Selain itu, Komnas HAM juga mengatakan menemukan istilah-istilah kekerasan yang digunakan dalam kerangkeng tersebut.
"Misalnya seperti MOS, Gas, atau 2,5 Kancing, ada istilah-istilah seperti itu dalam konteks kekerasan," tambah Anam.
Dalam proses penyelidikan, Komnas HAM mengatakan kerangkeng di rumah Terbit disebut masyarakat sebagai tempat rehabilitasi pengguna narkotika. Namun, rehabilitasi tersebut tak punya izin, alias ilegal.
Choirul Anam juga mengatakan temuan tentang dugaan adanya korban jiwa akibat kekerasan selama proses 'rehabilitasi' ini cocok dengan penyelidikan kepolisian Sumatera Utara.
Ia berharap kepolisian, "Menaikkan ini menjadi satu proses hukum. Karena memang dekat sekali dengan peristiwa pidana."
Pekan ini, Komnas HAM juga berencana menggali keterangan dari ahli terkait kecurigaan kerangkeng manusia di rumah Terbit sebagai wadah "perbudakan modern".
Pihaknya juga berencana memeriksa Terbit Parangin-angin terkait kerangkeng manusia di rumahnya.
Sebelumnya, sejumlah pakar pidana menyatakan Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Perangin-Angin, dapat dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dalam kasus dugaan perbudakan terkait penemuan kerangkeng manusia di rumahnya.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.