DAKAR, KOMPAS.TV - Sekitar 50 orang dijatuhi hukuman mati di Republik Demokratik Kongo pada Sabtu (29/1/2022).
Mereka terlibat pembunuhan pakar PBB Zaida Catalan dan Michael Sharp pada 2017, kata kelompok hak asasi manusia yang memantau persidangan, seperti dilaporkan Straits Times, Minggu (30/1/2022)
Seorang pejabat imigrasi setempat termasuk di antara mereka yang dijatuhi hukuman mati sementara seorang kolonel tentara divonis 10 tahun penjara, kata Thomas Fessy, peneliti senior Human Rights Watch di Kongo.
Kongo menerapkan moratorium hukuman mati sejak 2003 sehingga mereka yang dihukum akan menjalani hukuman penjara seumur hidup.
Tetapi Thomas Fessy dan saudara perempuan Catalan mengatakan, para penyelidik mengabaikan potensi keterlibatan pejabat tingkat tinggi, dan persidangan tidak mengungkapkan kebenaran.
Zaida Catalan dan Michael Sharp saat itu sedang menyelidiki kekerasan antara pasukan pemerintah dan milisi di wilayah Kasai Tengah pada Maret 2017 saat mereka dicegat lalu digelandang ke lapangan dan ditembak mati.
Para pejabat Kongo menuding pembunuhan itu tanggung jawab milisi Kamuina Nsapu.
Kongo awalnya menyangkal ada agen negara yang terlibat tetapi kemudian menangkap kolonel dan beberapa pejabat lain yang mereka katakan bekerja sama dengan pemberontak.
Setelah persidangan hampir lima tahun yang ditandai dengan penundaan berulang dan kematian beberapa terdakwa dalam tahanan, pengadilan militer di kota Kananga memberikan putusannya pada Sabtu.
Baca Juga: Ribuan Orang Mengungsi di Kongo Timur Akibat Pertempuran Tentara Pemerintah dan Kelompok Pemberontak
Di antara mereka yang dijatuhi hukuman mati adalah Thomas Nkashama, seorang pejabat imigrasi setempat yang bertemu dengan Catalan dan Sharp sehari sebelum misi fatal mereka, kata Fessy kepada Reuters. Yang lainnya diduga anggota milisi.
Jean de Dieu Mambweni, kolonel yang juga bertemu dengan Catalan dan Sharp sebelum misi mereka, dijatuhi hukuman 10 tahun penjara, kata Fessy.
Jaksa dan pengacara pembela dalam kasus ini tidak segera dapat dimintai komentar.
Kakak perempuan Catalan, Elisabeth Morseby, mengatakan, setelah putusan bahwa kesaksian dalam kasus tersebut diragukan kesahihannya mengingat lamanya waktu yang dihabiskan para terdakwa bersama-sama di penjara dan mengatakan keyakinannya bahwa Kolonel Mambweni hanyalah tabir asap yang menutupi kebenaran.
"Agar kebenaran terungkap, semua tersangka, termasuk yang lebih tinggi dalam hierarki, perlu ditanyai, yang belum dilakukan," katanya kepada Reuters.
Jaksa mengatakan bahwa mereka sudah mengikuti seluruh bukti yang ada.
Fessy mengatakan, masih ada lebih banyak pertanyaan daripada jawaban setelah putusan.
"Penyelidikan dan persidangan gagal mengungkap kebenaran penuh tentang apa yang terjadi. Pihak berwenang Kongo, dengan dukungan PBB, sekarang harus menyelidiki peran penting yang mungkin dimainkan pejabat senior dalam pembunuhan itu," katanya.
Menteri Luar Negeri Swedia Ann Linde, menggemakan seruan itu di Twitter, "Penting bahwa penyelidikan terus mengungkap kebenaran dan membawa keadilan, termasuk mengungkap orang lain yang kemungkinan terlibat. Kami mendorong pihak berwenang untuk sepenuhnya bekerja sama dengan mekanisme PBB."
Sumber : Kompas TV/Straits Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.