Keputusan Pemerintah Indonesia membuat Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara selevel provinsi dengan bentuk otorita—tanpa gubernur dan DPRD— dianggap berpotensi melahirkan kekuasaan yang sewenang-wenang dan tidak demokratis.
Ahli Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menilai bentuk otorita di IKN nanti memungkinkan terjadinya "otoritarianisme di tingkat lokal" karena hanya dikendalikan oleh eksekutif.
"Warga di IKN harus punya representasi. Harus. Kalau tidak, kita sudah melanggar konsep demokrasi yang sudah digariskan konstitusi kita," kata Bivitri menegaskan.
Berdasarkan Undang-undang (UU) IKN, kepala otorita akan bertanggung jawab langsung kepada presiden, seperti halnya menteri. Pemerintah berdalih masalah representasi rakyat akan diatur kemudian dalam peraturan pemerintah dan peraturan presiden.
Sementara itu, warga yang berbincang kepada BBC Indonesia mengaku menyayangkan pengumuman ini.
Baca juga:
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan harus ada peraturan yang mengatur secara khusus soal penyerapan aspirasi rakyat karena fungsi DPRD sebagai konsep perwakilan rakyat tidak ada.
"Jalur aspirasi atau penyerapan konteks representasi warga harus dipastikan," kata Titi.
Sementara, Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU IKN, Ahmad Doli Kurnia, mengatakan DPR RI akan bertindak sebagai pengawas di IKN Nusantara.
Ketua Komisi II DPR RI itu menjelaskan IKN Nusantara tidak akan dibebani oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), melainkan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sehingga "nanti akan diawasi DPR RI, bukan DPRD."
Namun, Bivitri tidak sepakat jika fungsi legislatif di IKN Nusantara dilakukan oleh DPR RI karena mereka mewakili konstituen nasional, sementara lingkup pengawasan yang dilakukan akan bersifat lokal.
"Kalau pengawasannya diambil alih DPR itu tidak bisa. Pengetahuan dan data yang dimiliki DPR RI di tingkat nasional akan sangat berbeda dengan cakupan, pengetahuan, dan data, di tingkat lokal. Harusnya tetap ada institusi-institusi demokratis," ujar Bivitri.
Kehadiran DPRD di IKN Nusantara dianggap penting untuk mengatur hal-hal teknis dan kehidupan masyarakat di daerah seluas 256.142 hektare itu, seperti halnya yang dilakukan DPRD DKI yang mengurus Formula E sampai sumur resapan dan DPR RI yang membuat Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Keduanya memiliki level yang berbeda, kata Bivitri.
Mengenai aspirasi rakyat itu, Doli mengatakan hal itu akan diatur dalam peraturan pemerintah dan peraturan presiden "yang mengatur kekhususan IKN dan mekanismenya." Dia menjelaskan DPR akan berfungsi sebagai mitra pemerintahan otorita IKN Nusantara seperti bermitra dengan "kementerian baru".
Status IKN Nusantara yang merupakan daerah khusus setingkat provinsi, tapi tanpa peran legislatif dan pemimpin setara menteri, dinilai oleh berbagai pengamat hukum dan aktivis sebagai inkonstitusional atau tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Titi menjelaskan empat daerah yang menyandang status khusus dan istimewa, seperti DKI Jakarta, DI Yogyakarta, DI Aceh, dan Papua saja tetap memiliki gubernur dan DPRD, meskipun ada beberapa pengaturan yang berbeda.
DKI Jakarta, misalnya, tidak ada pemilihan wali kota/bupati secara langsung, Yogyakarta yang tidak bisa memilih gubernurnya, Aceh dengan partai politik lokalnya, dan Papua dengan peraturan khusus calon gubernur harus orang asli Papua. Semuanya diatur dalam undang-undang.
Sementara itu, untuk saat ini, dia menilai konsep IKN Nusantara menjadi tidak jelas dan tidak solid.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.