Rapat paripuna yang digelar pada Selasa (18/1) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sebagai inisiatif DPR.
Dengan kesepakatan itu, Ketua DPR Puan Maharani mengatakan RUU TPKS selanjutnya akan dibahas bersama pemerintah sebelum disahkan sebagai Undang-Undang.
Delapan fraksi menyepakati pengesahan RUU TPKS sebagai inisiatif DPR, meski beberapa menyampaikan sejumlah catatan.
Perwakilan Fraksi PDI-Perjuangan, Riezky Aprilia, mengatakan RUU ini diharapkan bisa menjadi payung hukum yang dapat mencegah kekerasan seksual, serta melindungi hak dan pemulihan korban.
"Perlindungan korban harus menjadi fokus utama dari Undang-Undang ini," kata Riezky Aprilia dalam rapat paripurna tersebut.
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi satu-satunya yang tidak menyetujui RUU TPKS untuk sebagai usul DPR.
Baca juga:
"Bukan karena kami tidak setuju pada korban kekerasan seksual, terutama kaum perempuan, melainkan karena RUU ini tidak memasukkan secara komprehensif kekerasan seksual yang meliputi perzinahan dan penyimpangan seksual," kata perwakilan Fraksi PKS, Kurniasih Mufidayati.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sebelumnya melaporkan bahwa kasus kekerasan seksual di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengungkapkan bahwa setiap dua jam terdapat tiga perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.
"Itu yang terlapor, karena kita tahu lebih banyak lagi perempuan yang tidak melaporkan kasusnya," kata Andy, dikutip dari Kompas.com.
Sementara itu, korban kekerasan seksual dan pegiat perlindungan perempuan berharap negara dapat menyokong pemulihan korban dan kategori kekerasan seksual melalui substansi RUU TPKS.
Meli, bukan nama sebenarnya, pernah mengalami beberapa kekerasan seksual saat kecil dan hingga usianya menginjak 40 tahun, dia masih mengalami trauma.
"Nggak gampang pemulihan itu, butuh waktu, dan mungkin nggak akan pernah pulih. Kami hidup bersamanya [trauma]," kata Meli.
Meli mengaku menghabiskan cukup banyak uang untuk memulihkan traumanya itu. Untungnya dia masih sanggup membayarnya sendiri. Dia berharap RUU TPKS bisa mengakomodasi pelayanan pemulihan para korban kekerasan seksual.
Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks) Naila Rizqi mempertanyakan minimnya aturan terkait proses pemulihan korban yang tidak banyak dibahas dalam draf RUU TPKS itu. Kata Naila, pemulihan korban juga menjadi salah satu isu krusial dalam kasus kekerasan seksual.
"Percuma kalau kita punya RUU TPKS tapi pembahasan soal ketersediaan layanannya sangat minim. Padahal itu yang sebenarnya krusial di dalam pemenuhan hak-hak korban."
Dia mengatakan, dari segi substansi, RUU TPKS mengalami banyak perubahan sepanjang perjalanan pembuatannya sejak 2016, seperti penghapusan sejumlah kategori kekerasan seksual.
"Masih jauh ya dari harapan kita. Oke banyak yang sudah masuk di dalam draf yang terbaru, tetapi kita masih mendorong pembahasan selanjutnya lebih substansial lagi," kata Naila.
Sementara itu, Ketua Panitia Kerja RUU TPKS DPR, Willy Aditya, mengatakan kesempatan untuk merevisi dengan menambahkan substansi masih mungkin dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, keputusan itu tergantung dari pihak pemerintah.
"Sangat terbuka kemungkinan karena yang menyusun DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) kan pemerintah. Untuk substansi masih bisa diperbaiki, mana yang dikira kurang masih bisa dimasukkan, tapi melalui DIM pemerintah," ujarnya.
Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (Kemen PPA), Ratna Susianawati, mengatakan soal pemulihan korban bisa diatur dalam peraturan pelaksana.
"Tidak semua itu harus ditampung dalam pasal dalam undang-undang. Yang sifatnya besar-besar, sifatnya kebijakan itu baru. Tapi kalau sudah teknis, akan ditindak lanjuti dalam peraturan turunannya."
Dalam draf RUU TPKS tanggal 8 Desember, hak-hak soal pemulihan korban diatur dalam pasal 51, berupa pemulihan fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya, dan ganti rugi sebelum, selama, dan setelah proses peradilan.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.