JAKARTA, KOMPAS.TV – Sepanjang tahun 2021 Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia menerima 212 perkara Pengujian Undang-undang (PUU).
Dari 212 perkara PUU tersebut 50 perkara di antaranya merupakan perkara periode tahun 2020, sedangkan sisanya sebanyak 71 perkara merupakan periode 2021.
Penjelasan itu disampaikan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam peluncuran Ikon Hak Konstitusional Warga Negara bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) serta Fakultas Hukum Universitas Jember (FH UNEJ) pada Senin (27/12/2021).
Baca Juga: Pemerintah Hormati Putusan Mahkamah Konstitusi Soal UU Cipta Kerja
“Sementara itu, pada 2021 ini MK telah menerima 212 perkara yang terdiri atas 121 perkara PUU yang terdiri atas 50 perkara periode 2020 dan 71 perkara periode 2021,” kata Anwar, seperti tertulis dalam keterangan resmi MKRI.
Anwar menambahkan, MK juga telah memutus 99 perkara, di mana terdapat 3 perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) yang telah diputus semua, serta 151 perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada), yang semua juga telah diputus.
“Jadi pada 2021 ini terdapat 275 perkara dengan 22 perkara PUU yang masih dalam pemeriksanaan,” jelas Anwar.
Anwar juga menjelaskan, sejak 13 Agustus 2003 hingga saat ini, MK telah menerima total 3.317 perkara.
Perkara-perkara itu terdiri dari 1.479 perkara PUU, 29 perkara SKLN, 676 perkara PHPU, dan 1.133 perkara PHP Kada.
Terkait kegiatan peluncuran Ikon Hak Konstitusional Warga Negara tersebut, Sekretaris Jenderal MK, Guntur Hamzah, kegiatan ini dilaksanakan atas kerja sama antara MK dan mitra intelektual.
Melalui kegiatan serupa ini, kata Guntur, MK secara umum bertujuan memperoleh gambaran dan catatan dari mitra intekletual MK yakni akademisi yang berhubungan dengan pembangunan konstitusionalisme di Indonesia.
Pada 2021 ini, lanjut Guntur, MK merespon tahun kedua pandemi dengan membangun inovasi yang mengutamakan akses informasi digital untuk memenuhi keterbukaan kepada publilk.
Menurutnya, keterbukaan merupakan keniscayaan, utamanya dalam proses persidangan yang menjadi peristiwa publik yang harus diketahui masyarakat.
Baca Juga: Pegawai Aktif KPK Minta Pimpinan Patuh Hukum, Tunaikan Rekomendasi Ombudsman dan Mahkamah Konstitusi
“Maka, MK berkewajiban untuk memenuhi tuntutan inovasi kreatif mulai dari aspek yudusial dan administrasi,” ucapnya.
“Pada awalnya berbagai data dan informasi persidangan tertulis kemudian secara bertahap ditrasnformasikan menjadi digital dari pengajuan permohonan hingga putusan pada para pihak,” kata Guntur.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.