JAKARTA, KOMPAS.TV – Mengurangi konsumsi nasi dapat mengurangi potensi diabetes. Namun, lebih jauh lagi, ternyata membantu juga dalam menyelamatkan lingkungan karena mencegah dari banyaknya alih fungsi lahan dari hutan menjadi sawah.
Hal tersebut dikemukakan oleh sejumlah pakar nutrisi dan kesehatan. Satu di antaranya yakni, Alvi Muldani sebagai dokter dan relawan di Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI).
Ia menuturkan, risiko diabetes selain didapat dari mengonsumsi nasi berlebih juga dari gaya hidup sedentari dan kegemukan.
"Menurut penelitian, orang yang mengonsumsi nasi 450 gram sehari dibandingkan yang mengonsumsi 150 gram memiliki risiko 20 persen lebih besar terkena diabetes," ujarnya dalam pernyataan di Jakarta, Senin (20/12/2021), dikutip dari Antara.
Hal itu karena indeks glikemik tinggi pada nasi menyebabkan kenaikan gula dalam darah lebih cepat memicu pengeluaran insulin. Terlalu seringnya kadar insulin tubuh yang tinggi menyebabkan tubuh resisten terhadap insulin. Akibatnya, kadar gula dalam darah naik karena gula tidak diserap tubuh.
Kebutuhan insulin yang semakin tinggi juga bisa membuat pankreas kelelahan, sehingga lebih sedikit memproduksi insulin dan berakibat bertambah tingginya kadar gula dalam darah.
Bahkan dalam hal ini, Data International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan, Indonesia menduduki peringkat ke-7 dunia sebagai negara dengan kasus diabetes terbanyak.
Baca Juga: Jadi Barang Mahal di Luar Negeri, Batang Pohon Pisang Ternyata Bisa Obati Diabetes dan Darah Tinggi
Padahal, Indonesia memiliki beragam sumber karbohidrat selain nasi putih yang lebih minim risiko diabetes. Oleh karena itu, konsumsi nasi putih seharusnya dapat diselingi jenis karbohidrat lain.
Ada nasi merah dengan serat lebih baik. Ada pula sumber karbohidrat lain dengan indeks glikemik rendah, seperti sagu, kentang utuh, kacang-kacangan, dan sayur.
Dampak Lingkungan
Sejalan dengan hal itu, food and nutrition scientist di Center for International Forestry Research (CIFOR) Mulia Nurhasan menyoroti, pola konsumsi di Indonesia memiliki dampak terhadap lingkungan, seperti mengonsumsi nasi tiga kali sehari dan makan dengan nasi sepiring penuh.
"Jika semua orang Indonesia punya pola makan seperti ini, negara memerlukan produksi beras yang semakin banyak. Sayangnya, produksi beras menghasilkan gas rumah kaca yang cukup tinggi, peningkatan gas rumah kaca yang terlalu tinggi telah menyebabkan perubahan iklim," jelas peneliti pangan dan nutrisi itu.
Merujuk pada informasi di Our World in Data yang merilis hasil penelitian, Mulia menjelaskan, produksi beras per kilogram menghasilkan 4,45 kilogram gas rumah kaca.
Nilai itu termasuk yang paling besar di antara tumbuhan pangan lainnya, seperti singkong yang menghasilkan sekitar 1,32 kilogram gas rumah kaca.
Masalah lainnya yang berdampak buruk adalah banyak lahan sawah sudah mulai menyusut. Menanam di lahan-lahan baru yang tidak cocok untuk tanaman padi bisa menciptakan masalah lingkungan dan sosial yang besar.
“Berusaha mengonsumsi pangan yang lestari menjadi penting agar setiap orang bisa berkontribusi langsung pada keberlanjutan sistem pangan, termasuk mengurangi efek rumah kaca,” tutur Mulia.
Baca Juga: Dosen IPB Bagikan Tips Masak Nasi Putih Rendah Gula, Ini Caranya
Sumber : Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.