JAKARTA, KOMPAS.TV – Kasus NWR, korban kekerasan seksual di Mojokerto yang mengakhiri hidupnya di makam ayahnya merupakan alarm keras bagi Indonesia yang membutuhkan tanggapan serius dari aparat penegak hukum, pemerintah, legislatif dan masyarakat.
Dalam perkembangannya, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan, NWR sudah pernah melaporkan terkait eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi yang dialaminya ke Komnas Perempuan.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan, NWR mengadukan hal tersebut lewat internet pada Agustus lalu. Komnas Perempuan berhasil menghubungi NWR pada 10 November untuk memperoleh informasi yang lebih utuh atas peristiwa yang dialami, kondisi dan juga harapannya.
Pada saat berhasil dihubungi, korban menyampaikan bahwa ia berharap masih bisa dimediasi dengan pelaku dan orang tuanya, dan membutuhkan pertolongan konseling karena dampak psikologi yang dirasakannya.
Korban bercerita, ia dipaksa untuk menggugurkan kehamilannya oleh pacarnya yang berprofesi sebagai anggota kepolisian dengan berbagai cara, seperti memaksa meminum pil KB, obat-obatan dan jamu-jamuan, bahkan pemaksaan hubungan seksual karena beranggapan akan dapat menggugurkan janin. Berulang kali pula NWR menolaknya.
“Bahkan, pada pemaksaan aborsi kali kedua, korban sampai mengalami pendarahan, trombosit berkurang, dan jatuh sakit,” sebut Siti konferensi pers virtual, Senin (6/12/2021).
Baca Juga: Ikatan Alumni UB Desak Kepolisian Prioritaskan Kasus Kekerasan Seksual yang Dialami NWR
Dalam keterangan korban juga, pemaksaan aborsi didukung oleh keluarga pelaku yang awalnya menghalangi perkawinan pelaku dengan korban dengan alasan masih ada kakak perempuan pelaku yang belum menikah dan malah menuduh korban sengaja menjebak pelaku agar dinikahi.
Dari situ, NWR pun tak hanya mengalami dampak pada kesehatan fisik, tetapi juga mengalami gangguan kejiwaan yang hebat.
“Ia merasa tidak berdaya, dicampakkan, disia-siakan, berkeinginan menyakiti diri sendiri dan didiagnosa obsessive compulsive disorder (OCD) serta gangguan psikosomatik lainnya,” jelas Siti.
Ia juga menyebutkan, korban dirujuk untuk mendapatkan layanan dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Mojokerto. Sayangnya, menjelang jadwal sesi konselin, korban memilih mengakhiri nyawanya.
Kasus NWR merupakan salah satu dari 4.500 kasus kekerasan terhadap perempuan yang diadukan ke Komnas Perempuan dalam periode Januari-Oktober 2021. Ini sudah dua kali lipat lebih banyak daripada jumlah kasus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan pada 2020.
Dengan sumber daya yang sangat terbatas, Komnas Perempuan berpacu untuk membenahi sistem untuk penyikapan pengaduan, mulai dari verifikasi kasus, pencarian lembaga rujukan dan pemberian rekomendasi.
“Namun, lonjakan kasusnya sendiri mengakibatkan antrean kasus yang panjang, sehingga keterlambatan penyikapan merupakan kekuatiran yang terus kami pikul,” ungkap dalam siaran persnya, Senin.
Saat ini, pacar NWR yakni Bripda Randy Bagus sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Mapolres Mojokerto. Ia sangkakan sanksi etik dan Pasal 348 KUHP tentang aborsi dengan ancaman hukuman paling lama 5,5 tahun.
Baca Juga: Komnas Perempuan Dorong Kerja Sama 2 Entitas Besar untuk Penanganan Kekerasan Perempuan
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.