JAKARTA, KOMPAS.TV- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyayangkan sikap Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang menyebut hasil penyelidikan Komnas HAM masih belum sempurna.
Pernyataan itu disampaikan oleh Ketua Tim Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat yang juga Wakil Ketua Komnas HAM RI Amiruddin dalam keterangan tertulisnya, Kamis (2/12/2021).
“Berkas hasil penyelidikan Komnas HAM atas peristiwa-peristiwa yang diduga sebagai peristiwa pelanggaran HAM yang berat, sebagaimana yang dimaksud oleh UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM telah lengkap,” ujar Amiruddin.
“Selain itu tugas Jaksa Agung menurut UU bukan menyempurnakan kerja Komnas HAM, melainkan menindaklanjutinya ke tahap penyidikan.”
Amiruddin lebih lanjut menuturkan mengenai penentuan pelaku pelanggaran HAM berat, secara hukum bukanlah kewenangan penyelidik Komnas HAM.
Baca Juga: Komnas HAM soal Hasil Penyelidikan Pelecehan di KPI: Diduga Kuat MS Korban Pelanggaran HAM
“Penentuan pelaku dalam suatu peristiwa tindak pidana adalah kewenangan penyidik sepenuhnya,” ujar Amiruddin.
“Penyelidik hanya memberikan petunjuk awal. Hal itu sudah tercantum dalam berkas laporan hasil penyelidikan Komnas HAM.”
Amiruddin lebih lanjut menambahkan mengenai saksi kunci dan dokumen dalam tiap-tiap peristiwa yang diselidiki, Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang menambah serta memanggil pihak-pihak terkait dan menyita dokumen-dokumen yang diperlukan.
Tak hanya itu, Amiruddin juga meminta Jaksa Agung langsung mengumumkan Tim Penyidik untuk peristiwa tertentu.
“Hanya dengan begitu publik bisa menilai adanya langkah maju secara hukum atas penanganan peristiwa yang diduga sebagai peristiwa pelanggaran HAM yang berat,” ujarnya.
“Karena menurut UU proses penyidikan masa kerjanya telah dibatasi oleh UU No.26 Tahun 2000 yaitu 2 X 90 + 60 hari setelah Tim Penyidik diumumkan bekerja.”
Baca Juga: Komnas HAM: Polri Jadi Lembaga Negara yang Paling Banyak Diadukan Terkait Dugaan Pelanggaran HAM
Sementara terkait dengan dugaan pelanggaran HAM yang berat, waktu terjadinya sebelum tahun 2000. Sesuai Pasal 43 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, maka DPR-RI hanya berwenang memberikan persetujuan kepada Presiden untuk dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc.
“Jadi persetujuan DPR-RI itu tidak berkaitan dengan proses penyelidikan dan penyidikan,” tegasnya.
“Persetujuan DPR-RI hanya dimungkinkan untuk diberikan berdasarkan hasil penyidikan yang dilakukan oleh Jaksa Agung.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.