JAKARTA, KOMPAS.TV - Anggota Komite Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Mukti Ali Qusyairi, Lc. MA menjelaskan tentang keputusan yang diambil dalam forum Ijtima Ulama MUI yang meminta pemerintah untuk mencabut atau merevisi Peraturan Mendikbud Ristek (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan lembaga pendidikan.
Menurut Mukti Ali yang tergabung dalam komite Quniniyah (kenegaraan) di Forum Itjima Ulama MUI yang berlangsung dari tiga hari itu, hasilnya salah satunya adalah pembahasan terkait soal Permendikbud ini.
Para ulama dalam forum tersebut berdebat cukup keras, tapi tetap berlangsung dengan kepala dingin.
Mereka berdebat tidak hanya soal definisi, tapi juga soal subtansi yang ada dalam peraturan terkait pencegahan kekerasan seksual di lingkungan Pendidikan.
“Para ulama berdebat, ada Kiai, Bu Nyai dan Para Ulama menimbang dengan banyak sisi terkait permendikbud ini. Ada yang keras sekali mengkritisi, namun ada juga yang moderat menilai peraturan ini. Kami semua menelaah isi dalam peraturan itu,” papar Mukti Ali kepada KOMPAS.TV lewat sambungan telepon, Jumat sore (12/11).
Lantas Mukti Ali Qusyairi mengisahkan, ada banyak ulama yang setuju dan sepakat dengan poin soal korban kekerasan seksual harus dilindungi.
Tapi poin di dalam undang-undang itu, menurutnya, beberapa terdapat kontradiksi.
“Biar tidak salah sangka. Para ulama ini sepakat bahwa kekerasan atau kejahatan seksual itu tidak dibenarkan dalam Syariah,” tambahnya.
Baca Juga: Nadiem Makarim: Permendikbud PPKS Adalah Upaya Pencegahan, Bukan Legalkan Zina
Soal kontradiksi, alumnus Universitas Al-Azhar Mesir itu lantas menjelaskan ketika para ulama membaca ulang draf salinan Permendikbud itu, para peserta di forum ini mempertanyakan beberapa hal kunci yang jadi perdebatan.
“Ada banyak kontradiksi dalam pasal-pasal peraturan itu, makanya akhirnya para ulama di forum ini meminta pemerintah untuk mencabut atau merevisi. Ini sifatnya rekomendasi. Kontradiksi itu, misalnya soal lema ‘persetujuan korban’ yang bisa jadi multitafsir,” paparnya.
Lantas ia memberi contoh, soal satu hal persetujan korban secara subtansi akan memberikan pemahaman kalau korban itu setuju, berarti tidak masuk kekerasan seksual yang bisa dipidana.
“Pemahaman orang awam pun begitu. Padahal suka atau tidak, sikap amoral tidak boleh dilakukan. Lalu ini bisa juga tumpang tindih dengan UU lain seperti pornografi,” tambahnya.
Jadi, lanjut Mukti, poin pentingnya adalah soal revisi beberapa poin krusial yang bisa jadi menimbulkan masalah ke depannya dalam permendikbud itu.
Para ulama toh katanya sepakat, bahwa kejahatan atau kekerasan seksual itu harus diberantas, apalagi di lingkungan Pendidikan.
Permendikbud 30 ini menjadi 1 dari 12 poin kesepakatan pertemuan ulama dan komite fatwa MUI di Forum Itjima Ulama MUI yang diselenggarakan di Jakarta sejak Selasa dan berakhir di Kamis. MUI meminta pemerintah mencabut atau merevisi peraturan itu.
Baca Juga: Poin Lengkap Keputusan Ijtima Ulama MUI: Presiden Cukup 2 Periode hingga Kripto Haram
"Ketentuan-ketentuan yang didasarkan pada frasa 'tanpa persetujuan korban' dalam Permendikbudristek 30 tahun 2021 bertentangan dengan nilai syariat, Pancasila, dan UUD 1945," demikian bunyi penjelasan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.