TEGAL, KOMPAS.TV – Sejumlah nelayan memilih menunda jadwal melaut lantaran terhalang harga solar yang melonjak. Pasalnya, solar industri perikanan dari semula Rp 9.500 per liter, naik menjadi Rp 11.000 per liter.
Menurut Riswanto selaku pemilik kapal yang juga Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Tegal, kenaikan harga solar industri sudah terjadi sejak tiga bulan lalu. Bahkan, ia menyebut harga solar saat ini sebagai harga tertinggi dalam sejarah.
Diperkiakan, akibat kenaikan harga solar tersebut membuat ratusan kapal yang berencana melaut pada November harus menunda keberangkatannya. Hal itu juga akan membuat ribuan anak buah kapal (ABK) kehilangan kesempatan melaut dan potensi pendapatan.
”Kalau harga solar naik, biaya operasional kapal pasti naik. Kalau biaya operasional naik, nilai bagi hasil antara pemilik kapal dan ABK akan lebih sedikit untuk menutup biaya operasionalnya,” ungkap Riswanto, Rabu (3/11/2021), dikutip dari Kompas.id.
Ia mengatakan, setiap hari ada lima hingga delapan kapal berukuran di atas 30 GT yang berangkat melaut dari Kota Tegal. Untuk mencukupi kebutuhan delapan kapal tersebut, jumlah solar industri yang dibutuhkan mencapai 400 kiloliter.
Seperti yang dialami Sastro (38), pemilik kapal asal Kelurahan Muarareja, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, berencana melaut pada Kamis (4/11/2021). Namun, rencana itu akhirnya ditunda karena harga solar industri untuk kapal dengan ukuran di atas 30 gros ton (GT) naik dari Rp 9.500 per liter menjadi Rp 11.000 per liter.
Baca Juga: Dear Jokowi, Nelayan-Nelayan Indonesia Titip 4 Hal Ini Dapat Dibahas dalam KTT Perubahan Iklim
Sastro yang memiliki kapal perikanan berukuran 65 GT diperkirakan membutuhkan solar industri sebanyak 5.000 liter. Dengan adanya kenaikan harga solar tersebut, biaya operasional kapalnya menjadi Rp 750 juta-Rp 800 juta. Padahal, sebelumnya, biaya operasional kapal tersebut berkisar Rp 600 juta-Rp 700 juta.
”Saya agak pikir-pikir, harga solarnya terlalu tinggi, sedangkan kami melaut juga belum tentu dapat ikan. Kalaupun dapat, sekarang ini harga ikan dan cumi sedang turun,” kata Sastro, di Kota Tegal.
Berharap harga turun
Tak hanya di Kota Tegal, ratusan nelayan yang menggantungkan hidupnya pada aktivitas perikanan kapal berukuran di atas 30 GT di Kota Pekalongan mengeluhkan persoalan serupa. Mereka berharap harga solar industri perikanan diturunkan.
”Kalau dengan harga sekarang, jatuhnya pemilik kapal dan ABK sama-sama rugi. Biar tidak terlalu rugi, paling tidak harga solarnya Rp 7.000-Rp 9.000 per liter,” tutur Ketua HNSI Kota Pekalongan Imam Menuharun.
Diketahui, d ada sekitar 400 kapal perikanan di Kota Pekalongan. Dari jumlah tersebut, 300 kapal berukuran di atas 300 GT.
Area Manager Communication, Relations, & CSR PT Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah Brasto Galih Nugroho menuturkan, harga yang ditawarkan Pertamina tergolong kompetitif. Perubahan harga solar industri untuk kapal berukuran di atas 30 GT dipengaruhi oleh harga minyak dunia.
”Pertamina menyalurkan bahan bakar minyak nonsubsidi legal kepada nelayan dengan kapal berkapasitas di atas 30 GT dengan tetap mematuhi perpajakan yang berlaku, seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB),” terangnya.
Ia melanjutkan, skema penetapan harga dan penjualan produk solar industri atau nonsubsidi adalah kesepakatan business-to-business (B2B) antara PT Pertamina Patra Niaga Sub Holding Commercial dan Trading PT Pertamina dengan mitra bisnis sesuai dengan kontrak yang disepakati.
Baca Juga: Angka Konsumsi Terus Naik Seiring Pelonggaran PPKM, Pertamina Jamin Stok Solar Cukup
Sumber : Kompas TV/Kompas.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.