GLASGOW, KOMPAS.TV - Presiden Tanzania Samia Suluhu Hassan berbicara di podium Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau COP26 di Glasgow, Skotlandia pada Selasa (2/11/2021).
Sang presiden mengecam negara-negara maju yang menyumbang polusi terbesar tetapi tidak tegas menghadapi krisis iklim.
Hassan menjelaskan bagaimana krisis iklim berdampak buruk bagi Tanzania. Kendati telah mengupayakan konservasi hutan dan mengeluarkan polusi dengan jumlah tak cukup signifikan, negaranya kena dampak yang cukup parah.
Tanzania beserta negara-negara Afrika lain menderita kekeringan dan banjir akibat krisis iklim.
Baca Juga: Dampak Krisis Iklim: Gletser Afrika akan Sepenuhnya Mencair dalam Dua Dekade
Gunung Kilimanjaro, simbol kebanggaan Tanzania, juga terancam dengan mencairnya gletser.
“Kami di Tanzania tidak terampuni oleh kejadian-kejadian ini. Air laut naik memakan lahan subur. Kebanggan kami, Gunung Kilimanjaro, membotak secara drastis gara-gara pencairan gletser. Kami juga mengalami banjir dan kekeringan yang tak terprediksi,” kata Hassan.
Benua Afrika dilaporkan hanya bertanggung jawab atas 4 persen total emisi gas rumah kaca global. Namun, benua ini mengalami kenaikan suhu lebih cepat dari rata-rata global.
Krisis iklim membuat Afrika terancam kelaparan massal dan berbagai bencana alam.
“Kami mengalami ini semua kendati ketetapan kami menyediakan 49 juta hektare untuk konservasi hutan, sebagai pengabdian global terhadap penyerapan karbon,” lanjut Hassan.
Baca Juga: Dear Jokowi, Nelayan-Nelayan Indonesia Titip 4 Hal Ini Dapat Dibahas dalam KTT Perubahan Iklim
Presiden berusia 61 tahun itu mengecam negara-negara maju yang disebutnya “tertinggal” dalam penanganan krisis iklim. Ia mendesak para pemimpin untuk “beraksi sekarang”.
“Jika kami negara berkembang telah menunjukkan kepemimpinan yang begitu besar, mengapa negara dengan polusi besar justru tertinggal? IPCC AR6 (laporan Intergovernmental Panel on Climate Change 2021) telah menjelaskan sejelas-jelasnya cakupan dan besaran dampak perubahan iklim,” kata sang presiden.
“Kita tahu apa yang dibutuhkan dan kita tahu jika dunia tidak beraksi, negara seperti kami yang punya kapasitas adaptif lebih rendah tak punya pilihan selain bersiap menghadapi dampak yang lebih merusak,” sambungnya.
COP26 menjadi kesempatan para pemimpin dunia membenahi penanganan krisis iklim sebelum terlambat.
Ilmuwan merekomendasikan batas maksimum pemanasan global 1,5 derajat Celsius dibanding masa pra-industri. Namun, komitmen internasional saat ini membuat Bumi diproyeksi memanas hingga 2,7 derajat Celsius.
Di COP26, salah satu agenda utamanya adalah mencari cara membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius sebagaimana diamanatkan Perjanjian Paris 2015.
Baca Juga: COP26: Jokowi dan 100 Lebih Pemimpin Negara Janji Hentikan Deforestasi per 2030
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.