JAKARTA, KOMPAS.TV- Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung terus menemui tantangan. Mulai dari pembengkakan biaya, BUMN sponsor yang kekurangan dana hingga negara turun tangan, sampai tantangan teknis konstruksi menghadapi kondisi geologis.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengatakan, ada 1 terowongan yang dekat dengan Bandung yang sulit dibangun.
Lantaran batuan yang akan dilewati terowongan tidak bisa dibor karena terlalu keras.
"Contoh ada 1 tunnel yang mendekat ke arah Bandung, di dalam itu ada batu yang tidak bisa dibor jadi harus di blasting (peledakan) ini makanya terjadi pembengkakan biaya," kata Septian kepada wartawan, Selasa (12/10/2021).
Baca Juga: Kereta Cepat Jakarta-Bandung Pakai Duit APBN, Ini Alasan Kementerian BUMN
Dalam laporan PT KAI kepada DPR beberapa waktu lalu, disebutkan biaya pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung membengkak 1,9 miliar dollar AS atau Rp27 triliun rupiah (kurs Rp14.300). Sehingga, dana yang diperlukan meningkat, dari 6,07 miliar dollar AS atau Rp85 triliun menjadi 7,97 miliar dollar AS atau Rp113 triliun.
Kebutuhan penambahan biaya proyek paling banyak terjadi pada biaya konstruksi sekitar 600 juta dollar AS hingga 1,25 miliar dollar AS dan pembebasan lahan sebesar 300 juta dollar AS.
"Untuk pengadaan tanah itu sudah mencapai Rp 15 triliun yang diinvestasikan, itu bukan angka kecil. Jadi saya kira ini bukan masalah pemerintah tidak konsisten (janji tak pakai APBN). Tapi ini penting untuk pengembangan wilayah Jakarta dan Bandung di masa depan," ujar Septian
Tadinya, proyek tersebut dikerjakan oleh PT Konsorsium Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). KCIC terdiri dari 2 konsorsium, yaitu konsorsium Indonesia PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan konsorsium Beijing Yawan yang berisi sejumlah perusahaan China.
Baca Juga: Anggota DPR Minta Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Diaudit, Ini Alasannya
PSBI terdiri dari PT Wijaya Karya Tbk, PT Jasa Marga Tbk, PT Perkebunan Nusantara III, dan PT KAI. Menurut Kementerian BUMN, 4 perusahaan plat merah itu sedang kesulitan keuangan akibat pandemi Covid-19.
Mulai dari volume pengguna jalan tol yang berkurang, penumpang kereta api juga sepi karena pembatasan kegiatan masyarakat, serta restrukturisasi utang Rp43 triliun yang baru saja dilakukan PTPN III.
Kondisi itu menyebabkan PSBI tidak bisa menyetor modal awal senilai Rp4,3 triliun untuk proyek tersebut. Seharusnya setoran modal awal itu sudah dilakukan pada Desember 2020.
Akibat keterlambatan tersebut, salah satu konsekuensi yang mungkin terjadi adalah BUMN dari China sebagai salah satu sponsor juga akan menunda setoran modal.
Baca Juga: Biaya Kereta Cepat Jakarta-Bandung Bengkak 20%, RI Mau Nego Saham dengan China
Di sisi lain, pemerintah Indonesia ingin agar proyek itu cepat selesai dan segera beroperasi sesuai target awal, yaitu 2023.
"Sehingga kami dari pemerintah, karena ini Proyek Strategis Nasional (PSN) maka harus kita dukung," ucap Septian.
Seiring dengan masuknya uang negara ke proyek kereta cepat, pimpinan proyek itu juga berganti. Yaitu dari Wijaya Karya menjadi KAI. Karena KAI lebih berpengalaman dengan sektor perkeretaan.
"Jadi kita tidak hanya melihat financial return atau IRR, tapi economic benefit yang kita lihat akan signifikan. Kalau negara masuk menurut kami itu diperbolehkan, dan sudah diakomodasi dari Perpres, yang paling penting adalah struktur governance. Makanya harus ada proses audit," kata Septian.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.