JAKARTA, KOMPAS.TV - Tim kuasa hukum tiga anak yang diduga jadi korban pelecehan seksual ayah kandung di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, meminta Mabes Polri mengambil alih kasus tersebut. Penyidikan langsung oleh Mabes Polri atau setidaknya supervisi bertujuan untuk memastikan tidak ada lagi kesalahan prosedur dalam penanganan kasus yang menghebohkan publik itu.
Hal itu diungkapkan dalam siaran pers Tim Kuasa Hukum Korban, Selasa (12/10/2021).
“Kami meminta proses pidana kasus ini diambil alih oleh Mabes Polri atau setidaknya oleh Polda Sulawesi Selatan dengan supervisi Mabes Polri untuk memastikan tidak ada lagi kesalahan prosedur dalam prosesnya,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar Muhammad Haedir.
Menurut Haedir yang mewakili tim advokasi, pembukaan kembali penyelidikan kasus tersebut dimungkinkan berdasarkan Ketentuan Perkapolri No. 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Dia menyebut Mabes Polri dapat menindaklanjuti perkara pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur tersebut melalui Gelar Perkara Khusus.
Baca Juga: Kuasa Hukum Kecewa Polres Luwu Timur Terus Datangi Korban Kekerasan Seksual, Malah Buka Identitas
“Dalam Pasal 33 ayat (1) Perkap ini disebutkan Gelar Perkara Khusus dilakukan dalam rangka merespons Pengaduan dari Pihak yang berperkara dan/atau penasehat hukumnya atau menindaklanjuti perkara yang menjadi perhatian masyarakat,” tuturnya.
Selain itu, dalam Peraturan Kapolri 6 Tahun 2019 juga disebutkan bahwa gelar perkara adalah kegiatan penyampaian penjelasan tentang proses penyelidikan dan penyidikan oleh penyidik kepada peserta gelar dan dilanjutkan diskusi kelompok untuk mendapat tanggapan, masukan dan koreksi guna menghasilkan rekomendasi untuk menentukan tindak lanjut proses penyelidikan dan penyidikan.
Berdasarkan hal itu, maka tim advokasi meminta agar ada gelar perkara khusus dengan melibatkan sejumlah pihak. Haedir menyebut, pihak yang harus diundang dalam gelar perkara adalah para ahli dan perwakilan berbagai lembaga yang peduli terhadap perlindungan perempuan dan anak.
“Hal ini guna mendapatkan masukan berbagai pihak sehingga menghasilkan rekomendasi untuk mengoreksi proses penyelidikan yang telah dilakukan sebelumnya, serta dapat ditindaklanjuti dalam proses penyelidikan/penyidikan selanjutnya,” katanya.
Baca Juga: Kasus Dugaan Pemerkosaan Luwu Timur, Terduga Pelaku Bantah Tuduhan
Kuasa Hukum menilai pihak kepolisian Luwu Timur tidak memiliki perspektif perlindungan korban dalam menangani kasus kekerasan seksual anak. Hal itu misalnya dilakukan Polres Luwu Timur dengan beberapa kali mendatangi langsung rumah korban sehingga para tetangga, kerabat akhirnya mengetahui kasus tersebut.
Padahal, kata Haedir, identitas korban dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak benar-benar harus menjadi perhatian dan harus dilindungi oleh penegak hukum.
Tim Advokasi mengingatkan bahwa mereka menolak penghentian penyelidikan kasus karena ada dugaan kuat kesalahan prosedur oleh Polres dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Luwu Timur. Karena itu, tidak semestinya kedua pihak tersebut menemui pelapor atau korban.
Tim juga membantah keterangan P2TP2A Luwu Timur yang secara serampangan menilai hubungan para korban dan ayahnya sebagai terduga pelaku baik-baik saja hanya karena interaksi saat dipertemukan di kantor P2TP2A Luwu Timur pada Oktober 2019.
Baca Juga: Tagar #PercumaLaporPolisi yang Viral karena Kasus Luwu Timur, Harus Jadi Momentum Pembenahan Polisi
Laporan P2TP2A menjadi salah satu dasar polisi menghentikan kasus ini. Padahal menurut tim kuasa hukum, kesimpulan tersebut berbahaya dan menyesatkan. Sebab, menurut pemeriksaan psikolog di Makassar terhadap para korban, tidak adanya trauma dalam pertemuan bukan berarti kekerasan seksual tidak pernah terjadi.
“Terlebih pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan orang terdekat korban, yang umumnya tidak melakukan perbuatannya dengan cara-cara kekerasan, melainkan bujuk rayu, tipu muslihat, atau manipulasi,” paparnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.