JAKARTA, KOMPAS.TV - Imas Kustiani, seorang guru di SD negeri Wancimekar 1, Kotabaru, Kabupaten Karawang, harus dipapah sang suami dan digendong oleh seorang petugas, untuk mengikuti seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja, atau PPPK.
Imas harus dibantu masuk ruangan ujian PPPK yang bertempat di sebuah sekolah, karena menderita stroke sejak beberapa tahun terakhir.
Imas menjadi guru honorer untuk semua mata pelajaran kecuali olah raga, di SD Negeri Wancimekar 1 sudah mengabdi selama 17 tahun.
Untuk menopang hidup dari honor guru yang jauh dari cukup, sang suami membantu ekonomi keluarga dengan berjualan es keliling.
Imas sendiri sudah beberapa kali mengikuti tes seleksi ASN, namun gagal.
Ia berharap kali ini bisa diangkat, dan bertekad terus mengabdi sebagai tenaga pendidik.
Antusiasme mengikuti tes seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja, PPPK, juga dirasakan ribuan tenaga guru honorer di lingkungan Pemkab Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan.
Sayangnya, seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja, atau PPPK, dipenuhi sejumlah karut-marut persoalan, yang berpeluang memupuskan harapan banyak guru tenaga honorer untuk lolos seleksi.
Perhimpunan Pendidikan dan Guru, P2G, juga menyoroti kebijakan afirmasi guru honorer, yang kurang memberi rasa keadilan atas dasar lama pengabdian dan usia.
Guru menduduki peran sentral dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Terlebih, mereka yang masih berstatus tenaga honorer, mengabdi penuh dedikasi, meskipun hanya bertopang jumlah honor yang tak mencukupi.
Seleksi PPPK perlu menimbang rasa keadilan atas pengabdian mereka, tak sekedar hasil kemampuan teknis semata.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.