YOGYAKARTA, KOMPAS.TV – Yogyakarta merupakan salah satu tujuan wisata di Indonesia. Sejumlah atraksi wisata bisa menjadi pilihan wisatawan yang datang, mulai dari wisata kuliner, wisata alam, hingga wisata budaya yang tentunya tak bisa lepas dari sejarah panjang kesultanan di daerah ini.
Sejarah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bukan hanya tentang pemerintahan dan budayanya, tetapi juga tentang perkembangan wilayahnya sejak Pangeran Mangkubumi diakui sebagai Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat dalam Perjanjian Giyanti.
Pada masa itu, wilayah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat meliputi daerah Mataram, Pajang, Sukawati, Bagelen, Kedu dan Bumi Gedhe sebagai wilayah nagara agung, dengan jumlah cacah atau satuan keluarga sebanyak 53.100.
Wilayah lain adalah mancanagara, meliputi daerah Madiun, Magetan, Caruban, separuh Pacitan, Kertasana, Kalangbret, Ngrawa (Tulungagung), Japan (Majakerta), Jipang (Bojanegara), Teras Karas (Ngawen), Sela, Warung (Kuwu Wirasari) dan Grobogan, dengan jumlah cacah sebanyak 33.950.
Sejak kekuasaan Hindia Belanda jatuh ke tangan Inggris pada 18 September 1811, Sri Sultan Hamengku Buwono II kembali mengambil alih kekuasaan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dan bernegosiasi dengan Raffles selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu.
Negosiasi agar Inggris membayar ganti rugi daerah-daerah pesisir yang sebelumnya dikuasai Belanda tidak mencapai kesepakatan, bahkan ketegangan semakin meningkat, yang berujung pada penyerbuan Inggris ke Keraton Yogyakarta pada Juni 1812.
Baca Juga: Peringati Hari Musik Dunia, Keraton Yogyakarta Luncurkan Orkestra Kerajaan
Baca Juga: Rumput Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta Terbakar, Api Diduga Disulut ODGJ
Inggris berhasil menawan Sri Sultan Hamengku Buwono II dan menggantikannya dengan Sri Sultan Hamengku Buwono III, serta menobatkan Pangeran Notokusumo sebagai Pangeran Merdika, bergelar KGPAA Paku Alam I.
Pada 17 Maret 1813, Inggris memberikan tanah seluas 4.000 cacah kepada KGPAA Paku Alam I. Wilayah Kadipaten Pakualaman meliputi daerah Parakan di Kedu, sebagian daerah Bagelen, dan sebagian daerah di Klaten.
Wilayah Kesultanan Yogyakarta kembali berubah setelah Perang Jawa pada 1825 hingga 1830.
Saat itu, setelah pemerintah Kolonial Belanda kembali berkuasa pada 1816, Pangeran Diponegoro yang merupakan putra Sri Sultan Hamengku Buwono III, memimpin Perang Jawa.
Saat perang berakhir, melalui perjanjian yang ditandatangani tahun 1831, pemerintah kolonial memaksa Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman menyerahkan seluruh wilayah mancanegara.
Wilayah Kadipaten Pakualaman hanya berupa sebagian kecil wilayah di Kota Yogyakarta, dan wilayah Kabupaten Karangkemuning di luar kota.
Kabupaten Karangkemuning terletak di sebelah barat Kota Yogyakarta, yakni di daerah Kulon Progo, yang saat itu menjadikan Brosot sebagai ibu kota.
Kabupaten Karangkemuning memiliki empat distrik, yaitu Galur, Tawangharjo, Tawangsoko dan Tawangkarto.
Selanjutnya, pada masa Republik Indonesia, yakni sejak tahun 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama Sri Paduka Paku Alam VIII menyatakan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman bergabung dengan Indonesia.
Wilayah Gabungan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman tersebut kemudian dikenal dengan wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sumber : kratonjogja.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.