MARSEILLE, KOMPAS.TV – Komodo, kadal terbesar di dunia, kini terancam punah. Kenaikan permukaan air laut akibat krisis perubahan iklim yang kian mempersempit habitat komodo, dituding menjadi penyebabnya. Hal ini diungkap lembaga konservasi dunia IUCN yang baru menggelar kongres konservasi dunia di Marseille, Prancis, Sabtu (4/9/2021).
Melansir The Guardian, IUCN menyatakan, kenaikan permukaan air laut diperkirakan akan mempengaruhi 30 persen habitat komodo hingga 45 tahun ke depan.
Jangkauan habitat komodo di kawasan Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur, mengecil hingga lebih dari 40 persen sepanjang tahun 1970-2000.
IUCN mengumumkan perubahan status komodo yang sebelumnya berada pada tingkat ‘genting’, kini menjadi ‘terancam bahaya (punah)’ dalam Daftar Merah hewan yang terancam punah. Perubahan status ini merupakan yang pertama selama 20 tahun belakangan.
Sebelumnya, sebuah makalah tentang bagaimana pemanasan global akan memengaruhi komodo menghasilkan kesimpulan “tindakan konservasi mendesak dibutuhkan untuk menghindari risiko kepunahan”.
Baca Juga: Serba-serbi Komodo, Satwa Langka yang Dilindungi
“Karena tekanan aktivitas manusia, hutan kian sempit dan menghilang, dan sabana turut terpengaruh oleh kebakaran dan degradasi. Inilah mengapa (jumlah) komodo kian menciut,” tutur Gerardo Garcia, kurator vertebrata (hewan bertulang belakang) dan invertebrata (hewan tak bertulang belakang) di Kebun Binatang Chester. “Habitat mereka kian menciut akibat naiknya permukaan air laut.”
Baca Juga: UNESCO Beri Peringatan atas Pembangunan Pariwisata TN Komodo, Indonesia Langsung Jawab
"Gagasan bahwa hewan prasejarah ini selangkah mendekati kepunahan akibat perubahan iklim mengerikan," kata Andrew Terry, direktur konservasi Masyarakat Zoologi London.
Mengutip ANTARA, dia menyerukan tindakan untuk melindungi alam dalam konferensi iklim di Glasgow pada November lalu.
Dalam kongres tentang konservasi dunia itu, IUCN merilis laporan tentang 138.374 spesies tanaman, hewan dan jamur, yang lebih dari seperempatnya kini terancam punah.
"Spesies laut cenderung ditelantarkan karena mereka berada di dalam air dan orang sungguh tak memperhatikan apa yang terjadi pada mereka," kata Craig Hilton-Taylor, kepala unit Daftar Merah IUCN.
Namun ketika kuota tangkapan dan upaya membidik penangkapan ikan ilegal menunjukkan tanda-tanda keberhasilan, prospek bagi tuna tampaknya meningkat.
Baca Juga: Kebakaran Hebat Melanda Sabana Taman Nasional Komodo, Ini Kata BTNK
Tuna sirip biru Atlantik, predator besar berdarah panas yang gemar berpindah-pindah dan harganya mencapai ribuan dolar, melompat tiga kategori dari 'genting' menjadi 'berisiko rendah' dalam daftar tersebut, meskipun populasinya di sejumlah wilayah masih sangat sedikit.
Tuna sirip biru selatan juga membaik dari 'kritis' menjadi 'genting', sementara tuna albakora dan tuna sirip kuning diklasifikasikan sebagai 'berisiko rendah'.
IUCN juga mengungkapkan kekhawatiran terhadap hiu dan pari yang bernasib kurang baik ketimbang tuna. Menurut Hilton-Taylor, tren hiu dan pari "bergerak ke arah yang salah".
Sekitar 37 persen spesies kedua hewan itu kini mendekati kepunahan. Bandingkan dengan amfibi (33 persen), mamalia (26 persen) dan unggas (12 persen).
IUCN mengatakan tahun lalu bahwa sejenis hiu yang secara formal baru saja ditemukan, mungkin sudah punah.
Sumber : The Guardian/Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.