KOMPAS.TV - Dalam jumpa pers, Selasa (17/8/2021), Taliban menyatakan akan menghormati hak-hak perempuan sesuai dengan syariah (hukum Islam).
Ini harusnya memberikan harapan baru di tengah kekacauan. Namun, sikap ini justru dipertanyakan oleh publik internasional.
Melansir BBC Indonesia, selama pemerintahan mereka dari 1996 hingga 2001, Taliban melarang perempuan untuk bekerja dan bersekolah, dan membatasi akses mereka ke perawatan kesehatan.
Setelah kekuasaan Taliban disingkirkan pada 2001, pemerintah Afghanistan mulai menerapkan sistem demokrasi.
Perempuan memiliki akses untuk berpartisipasi di berbagai bidang termasuk hukum, kedokteran dan politik.
Namun dalam 20 tahun terakhir, perempuan di Afghanistan belum sepenuhnya bebas dari keterbatasan.
Laporan Human Rights Watch tahun 2020 mengungkapkan, pasca 2001, perempuan di sejumlah distrik yang masih berada di bawah pengawasan Taliban, tetap tidak diizinkan bersekolah.
Perang dan penyerangan yang terjadi di wilayah Afghanistan membuat para perempuan tinggal dalam ketakutan.
Mantan Wakil Menteri Urusan Perempuan Afghanistan, Hosna Jalil, angkat bicara soal Taliban yang menyatakan akan menghormati hak-hak perempuan Afghanistan.
“Mereka memberikan pesan-pesan yang meyakinkan tentang memberi perempuan hak-hak dasar mereka tetapi tindakan mereka di lapangan berbeda,” ujar Hosna Jalil seperti dikutip dari Sky News, Rabu (18/8/2021).
Sejak kembali menduduki Afghanistan pada 12 Agustus 2021, Taliban dilaporkan kembali membatasi dan menangkap sejumlah perempuan, termasuk Gubernur dan Wali Kota Afghanistan.
Baca Juga: Siapa Salima Mazari, Gubernur Perempuan Afghanistan yang Ditangkap Taliban
(*)
Grafis: Agus Eko
Sumber : diolah dari berbagai sumber
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.