KLATEN, KOMPAS.TV – Dinilai meresahkan masyarakat, belasan poster yang bertuliskan "17 Agustus tahun ini temanya Bertahan Hidup!!! Dipaksa Sehat di Negara Sakit" yang terpasang di beberapa titik jalan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, telah dicopot oleh Muspika Kecamatan Klaten Utara.
Kasi Trantib Kecamatan Klaten Utara Endang Sri Suyanti mengatakan belasan poster tersebut terpasang di sepanjang Jalan Gor dan Taman Lampion Klaten.
"Kami kemarin didampingi Polsek Klaten Utara melepas semua poster itu karena tidak sesuai. Nanti malah membuat resah masyarakat," kata Endang seperti dilansir dari Kompas.com, Rabu (19/8/2021).
Meski tidak tahu kapan pemasangan dilakukan, namun belasan poster tersebut kata Endang, telah dicopot oleh Polsek, Kormil, kecamatan, dan trantib.
Lebih lanjut, Kapolsek Klaten Utara AKP Sugeng Handoko kini sedang melakukan penyelidikan terhadap pemasang poster tersebut.
Baca Juga: Mural Berisi Kritik Dihapus, KSP: Tidak Mungkin Perintah Istana
"Nanti rencana tetap akan kita selidiki. Kita nanti koordinasi bersama Kasat Intel melalui kamera CCTV yang ada di situ," kata Sugeng.
Diberitakan Kompas TV sebelumnya, beberapa aksi protes masyarakat dilakukan lewat karya, salah satunya mural 'Jokowi 404: Not Found' yang ditorehkan pada dinding terowongan inspeksi Tol Kunciran-Bandara Soekarno Hatta di Batuceper, Kota Tangerang, Banten.
Mural tersebut tidak berumur lama, lantaran langsung dicat ulang oleh pejabat negara sebab dianggap menghina lambang negara yang kemudian berujung pada pencarian seniman.
Hal tersebut kemudian disayangkan Pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar, seperti dikutip dari Tribunnews, dia menilai bahwa hal tersebut tidak relevan.
Menurutnya, presiden bukanlah bagian dari lambang negara. Jadi, kata Fickar, tidak relevan jika mural tersebut lantas dikaitkan dengan penghinaan terhadap presiden.
"Lambang negara itu bukan Presiden, tetapi garuda pancasila. Jadi sebenarnya tidak relevan dan tidak konteks pasal tentang penghinaan terhadap presiden," jelasnya.
Lebih lanjut, Fickar menjelaskan terkait pasa penghinaan presiden yang merupakan peninggalan penjajah Belanda dan tidak relevan diterapkan di Indonesia.
Baca Juga: Mural Jokowi 404 Dianggap Hina Lambang Negara, Pakar Hukum: Tidak Relevan
"Pasal peninggalan penjajah Belanda yaitu penghinaan terhadap ratu karena Belanda memang negara kerajaan (monarchi) yang kepala negara atau rajanya baru berganti jika mati, sedangkan Indonesia itu negara demokrasi yang presiden atau kepala negaranya berganti lima tahun sekali," jelas dia.
Fickar juga menyebut laporan perihal nama baik di Indonesia dibuat berdasarkan delik aduan, artinya penyelidikan baru bisa dilakukan apabila Presiden Jokowi sendiri selaku pihak yang digambarkan, melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian.
Sumber : Kompas TV/Kompas.com/TribunSolo
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.