JAKARTA, KOMPAS.TV- Perilaku membeli barang secara tidak rasional akibat kecemasan atau sering disebut panic buying, ternyata bisa menular. Hal itu disampaikan ahli psikolog klinis dewasa dari Universitas Indonesia (UI) Mega Tala Harimukthi.
Mega menjelaskan, pada kondisi seseorang yang sangat takut, kemudian melihat orang lain secara langsung ataupun melalui media foto dan video melakukan hal tertentu, dia bisa sangat emosional mempersepsikan hal tersebut, lalu ikut takut.
Akhirnya, karena otaknya lebih mengutamakan sisi emosional dibanding logis dan dia membeli banyak barang yang bisa saja bukan kebutuhan utama dia.
Tidak heran, saat pandemi ini banyak orang memborong susu steril bergambar beruang, sehingga produknya menjadi langka meski dibanderol dengan harga lebih mahal dari biasanya.
Baca Juga: Mengapa Masyarakat Terjebak Panic Buying Awal PPKM Darurat? Ini Penjelasan Psikolog
Kemudian kelangkaan tabung oksigen, vitamin dan suplemen untuk meningkatkan imunitas tubuh menjadi contoh nyatanya.
"Orang yang panik begini irasional, tidak masuk akal. Tetapi semakin dia menunjukkan aksi panic buying itu, membuat orang di sekitarnya jadi ikut terbawa merasakan kepanikan itu," kata Tala.
Di sisi lain, kondisi mentalitas kelompok atau lingkungan juga bisa menjadi penyebab orang panic buying. Orang bisa menafsirkan sebuah kondisi berbahaya, menakutkan, mengkhawatirkan, penuh ketidakpastian dari reaksi orang di sekelilingnya.
"Otomatis dia jadi ikut seperti orang yang dia lihat," ujar Tala.
Mega menyebut, mereka dengan kecenderungan mudah cemas sehingga terbiasa untuk mengambil keputusan secara emosional punya probabilitas melakukan pembelian yang impulsif atau panic buying.
Baca Juga: KSP: Semua Kebutuhan Akan Cukup Kalau Masyarakat Tidak Panic Buying
"Ketika seseorang terbiasa mengambil keputusan secara emosional, akhirnya otak emosional dia bekerja sehingga sangat cepat, tidak punya pertimbangan matang, sangat impulsif, sehingga saat melihat orang lain (baik itu foto maupun video) belanja barang tertentu yang banyak dia mulai panik," ujarnya, Selasa (6/7/2021) dilansir ANTARA.
Tanpa sadar, pikiran emosionalnya yang mengambil keputusan sehingga dia bersikap impulsif membeli barang-barang yang menurut dia dibutuhkan.
Kegagalan orang berdamai dengan kondisi tak pasti juga bisa menyebabkan kecemasan dan berujung panic buying. Pada keadaan cemas, orang akan lebih mudah menyerap hal-hal yang sifatnya negatif. Mengapa? Awalnya dia sangat takut untuk mengalami hal negatif, tetapi karena dia berpikir irasional, akhirnya malah mengikuti hal negatif.
Orang itu sudah merasa frustasi, semakin merasakan ketidakpastian di masa depan, sehingga ambang stresnya menjadi lebih rendah.
orang yang frustrasi tersebut juga tidak lagi toleran dengan sekitarnya dan tak jarang mengalami gangguan kecemasan. Akibatnya, dia bisa sangat mengkhawatirkan hal-hal yang sebetulnya tidak perlu terlalu dipikirkan.
Pada mereka yang mudah cemas, ada kecenderungan mengalami kecemasan yang sifatnya antisipatif. Dia berusaha preventif agar tidak mengalami hal buruk dan berusaha mengendalikan situasi agar sesuai dengan ekspektasinya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.