JAKARTA, KOMPAS.TV - Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra memberikan sorotan tajam kepada pemerintah perihal penanganan Covid-19 di Tanah Air.
Hermawan menilai, selama 15 bulan perjalanan Covid-19 ini banyak sekali dilema dan situasi yang sebenarnya mampu pemerintah prediksi namun belum sanggup dalam mengantisipasinya.
"Pertama dari aspek kebijakan, di Indonesia termasuk negara yang belum memiliki kebijakan yang kuat dalam pengendalian Covid-19,” kata Hermawan dalam konfrensi pers secara daring yang bertajuk 'Desakan Emergency Responses: Prioritas Keselamatan Rakyat di Tengah Pandemi', Minggu (20/6/2021).
Tercatat, lanjut dia, dalam menangani pandemi Covid-19, pemerintah hanya memiliki PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang menurutnya tidak cukup kuat untuk memutus rantai penyebaran virus tersebut.
Baca Juga: Kemenkes Minta Bodetabek dan Bandung Raya Percepat Vaksinasi Covid-19 untuk Usia 18 ke Atas
“PSBB ini hanya diterapkan di tiga provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat. Itu pun dengan modifikasi dari PSBB menjadi transisi proposional dll. Di level kabupaten kota hanya 40-an yang menyelenggarakan PSBB,” jelas dia.
Istilah PSBB ini bahkan sekarang menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Hermawan menilai ada perbedaan yang jelas antara PSBB dan PPKM.
"PKKM itu tujuannya bukan untuk memutus mata rantai Covid-19 tapi lebih pada relaksasi, jadi melandaikan atau memperlambat situasi," ujar Hermawan.
Sehingga, menurut dia dari perspektif kebijakan, Indonesia belum memiliki policy options yang kuat untuk pengendalian Covid-19.
Sementara itu, jika dilihat dari penelurusan epidemologi dan 3T (testing, tracing, dan treatment), Hermawan juga berpendapat Indonesia masih lemah.
"Dalam 15 bulan testing dan tracing masih sekitar 100 ribu specimen rates, itu pun separuhnya sekitar 40% sampai 50% saja laboratorium untuk PCR yang dapat memberikan report harian dengan baik," jelas dia.
"Ini menunjukkan gap antara kabupaten/kota di Indonesia begitu dalam dan tinggi, yang menyebabkan fenomena gunung es Covid-19," sambung Hermawan.
Tak hanya itu, dia juga menyinggung terkait program vaksinasi Covid-19 Indonesia yang dinilai terlalu ambisius.
Baca Juga: Hari Ini, 10 Juta Dosis Bahan Baku atau Bulk Vaksin Sinovac Tiba di Indonesia
Menurut pendapatnya, tidak mungkin vaksinasi Covid-19 ini dapat selesai dalam waktu belasan bulan seperti yang ditargetkan pemerintah.
Mengingat laju vaksinasi di Indonesia masih lambat. Salah satu alasannya karena Indonesia bukan negara produsen vaksin Covid-19.
"Bukti terpampang, betapa vaksinasi rate kita di bulan Juni ini ditargetkan kira-kira satu juta per hari, tapi jauh sekali sekarang ini kita masih 100-200 ribu. Vaksin bukan solusi jangka pendek. Kita berharap vaksin jadi public health initiative, tapi tentu bukan solusi saat ini," ujar Hermawan.
"Menjalankan kesehatan dan ekonomi berbarengan sangat mustahil. Maka kita perlu memutus salah satu sebagai prioritas dan harus ada extraordinary initiative atau extraordinary policy making
jika ingin memutus mata rantai Covid-19," papar dia.
Lebih lanjut dia menyarankan agar pemerintah dapat menggunakan cara negara mayoritas yang sudah melewati puncak kasus yakni dengan menggunakan optimum social restriction atau lockdown.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.