JAKARTA, KOMPAS.TV – Upaya mencapai industri berkelanjutan dan pengembangan energi bersih di Indonesia membutuhkan upaya ekstra di luar skema pemberian insentif.
CEO Sintesa Group, Shinta W Kamdani mengatakan, untuk mendorong tumbuhnya industri hijau dan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia, dibutuhkan upaya ekstra melebihi skema-skema pemberian insentif.
Ia menilai insentif fiskal memang dibutuhkan untuk mendorong berkembangnya ekonomi sirkular. Namun, dalam skala besar, insentif bukan solusi mutlak karena ada tantangan mendasar yang harus terlebih dahulu dihadapi, yaitu faktor nilai keekonomian, aspek sosial, pengembangan teknologi, dan dukungan regulasi.
”Kita tidak perlu bicara insentif, kita butuh solusi yang beyond insentif. Sebab, persoalan fundamentalnya saja kita belum siap. Masih banyak hal yang perlu dicarikan solusinya, terutama dari segi selisih harga pengembangan EBT,” kata Shinta, dikutip dari laman Kompas.id (11/6/2021).
Menurut dia, faktor ekonomi tetap penting karena untuk mewujudkan ekonomi berkelanjutan, performa ekonomi tetap harus dijaga bersama-sama dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Selain faktor keekonomian yang diragukan, ekosistem berusaha di dalam negeri juga belum mendukung beroperasinya pengembangan industri energi bersih dan berkelanjutan.
"Road map pemerintah sebenarnya sudah bagus dan benar. Namun, jika melihat kenyataan di lapangan, justru jauh dari target-target yang dikomitmenkan," katanya.
Baca Juga: Menteri Perindustrian: Perusahaan akan Diberikan Insentif Jika Lakukan Industri Hijau
Contohnya, pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi/geotermal (PLTP) yang saat ini sedang dikembangkan Sintesa Group lewat PT Sintesa Banten Geothermal dan PT Meppo-Gen.
Investasi Berisiko Besar
Sejalan dengan hal itu, menurut Vice President Energy Sintesa Group, Rosar Mamara, secara fundamental, investasi di sektor geotermal membutuhkan nilai investasi yang tinggi dengan risiko yang besar.
Sebab, berbeda dengan pembangkit listrik lainnya, pengembang PLTP harus mengurusi sektor hulu untuk mencari bahan baku atau sumber panas bumi terlebih dahulu, serta mengembangkan sektor hilir untuk mengonversi bahan baku itu menjadi listrik.
Hal itu membuat nilai investasi yang ditanamkan serta risiko yang dihadapi lebih besar.
Pemerintah berusaha memberikan kompensasi atas risiko yang besar itu dengan memberi tarif listrik relatif tinggi. Namun, menurut Rosar, hal itu kurang tepat karena tarif listrik itu baru bisa dinikmati untuk jangka panjang ketika proyeknya sudah jadi.
Sementara risiko dan beban yang dihadapi lebih berat ketimbang mengembangkan pembangkit listrik dari energi fosil.
”Ke depan, kalau sudah berhasil menemukan sumber uap panas, harus langsung ada kalkulasi kompensasi secara cepat. Sampai hari ini, kompensasi kami hanya berupa tarif listrik. Padahal, itu baru bisa dinikmati 4-5 tahun setelah mulai mengebor. Bayangkan kalau selama itu tidak ada kompensasi, proyek geotermal menjadi terlalu mahal dan lama,” kata Rosar.
Baca Juga: Tiga Hal yang Ditegaskan Wamen ATR/BPN Terkait Perizinan Pembangunan Berkelanjutan di Papua Barat
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.