JAKARTA, KOMPAS.TV - Pemberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk bahan kebutuhan pokok yang tengah diusulkan pemerintah melalui Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang baru, mendapat banyak tentangan. Apalagi jika dibandingkan dengan kebijakan pemberlakuan insentif pajak hingga 100 persen terhadap mobil dan rumah.
Namun pemberlakuan aturan tersebut sudah dikaji dengan baik sesuai dengan kondisi yang berlaku. RUU tersebut disiapkan untuk meningkatkan penerimaan negara setelah pandemi berakhir. Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo melaui akun Twitternya menjelaskan, rencana pengenaan PPN itu memang terkait dengan penurunan penerimaan pajak pemerintah akibat pandemi. Sehingga ketergantungan terhadap utang akan semakin tinggi.
Pemerintah, menurutnya, tengah berupaya memaksimalkan penerimaan pajak dan tidak bergantung pada utang. Salah satunya dengan menerapkan multitarif PPN, yang menurut dia telah diberlakukan di berbagai negara lain. Sehingga penerimaan PPN menjadi lebih optimal.
“Kenapa sih penerimaan PPN kita belum optimal? Ini salah satu jawabannya. Terlalu banyak pengecualian dan fasilitas. Indonesia negara dengan pengecualian terbanyak. Ya memang dermawan dan baik hati sih. Cuma kadang distortif dan tidak tepat. Bahkan jadi ruang penghindaran pajak,”ujarnya.
Pemberlakuan PPN tersebut dianggap justru memberi rasa keadilan secara menyeluruh. Selain itu, tujuan pemajakan akan tercapai. “Pengaturan yang demikian justru menjadikan tujuan pemajakan tidak tercapai. Yang mampu bayar tidak membayar karena mengonsumsi barang/jasa yang tidak dikenai PPN. Ini fakta. Maka kita perlu memikirkan upaya menata ulang agar sistem PPN kita lebih adil dan fair, “ sebutnya.
Langkah yang adil menurutnya, pajak PPN tetap diberlakukan, namun porsinya yang lebih rendah dibandingkan barang mewah. “Yang dikonsumsi masyarakat banyak (menengah bawah) mustinya dikenai tarif lebih rendah, bukan 10 persen. Sebaliknya, yang hanya dikonsumsi kelompok atas bisa dikenai PPN lebih tinggi. Ini adil bukan? Yang mampu menyubsidi yang kurang mampu. Filosofis pajak kena: gotong royong,” tambahnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.