JAKARTA, KOMPAS.TV- Pengamat Lingkar Madani Indonesia (LIMA Indonesia), Ray Rangkuti mengatakan, terdapat 4 pasal yang sangat mengkhawatirkan dalam RUU KUHP.
Yakni, pasal 218, 219 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, dan pasal 353, 354 tentang Tindak Pidana terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara.
“Empat pasal ini bernafas pada satu hal, ancaman pidana bagi siapapun yang menyebabkan harkat, martabat dan menghina presiden, wakil presiden, lembaga negara dan kekuasaan umum,” kata Ray Rangkuti dalam keterangannya kepada Kompas TV, Rabu (9/6/2021).
Menurut Ray, Pasal 218 RKUHP berpotensi melahirkan kesewenang-wenangan karena tidak ada penjelasan yang kuat dari maksud kehormatan, harkat, dan martabat Presiden/Wakil Presiden.
“Dalam pasal yang kabur seperti ini justru akan berpotensi melahirkan kesewenang-wenangan. Pasal 218 juga berpotensi tumpang tindih dengan pasal 353. Lembaga negara dalam pasal ini, tentu saja terdapat di dalamnya adalah lembaga kepresidenan dan wakil presiden,” kata Ray.
Baca Juga: RKUHP Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden Berpotensi "Tabrak" Putusan MK
“Tak jelas pula beda antara penghinaan dalam pasal 353 ini dengan penyerangan atas harkat martabat presiden/wakil presiden dalam pasal 218 di atas. Apakah penghinaan masuk atau tidak dalam defenisi penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden. Tak jelas,” tambahnya.
Kemudian yang membingungkan, kata Ray, pasal 353 ini tidak hanya berhubungan dengan lembaga kepresidenan, tapi juga lembaga negara secara umum.
“Jika merujuk terhadap pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang memuat frasa “memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar” kata Ray.
"Maka dapat disebut lembaga negara itu adalah MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, dan Kepresidenan. Betapa luasnya makna lembaga negara itu,” lanjut Ray.
Baca Juga: Hati-Hati, Dalam RKUHP Iseng Lakukan Prank Bisa Terancam Denda Rp10 Juta
Oleh karena itu, Ray mengatakan LIMA Indonesia menilai empat pasal di atas harus ditolak karena tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
“Membuat kategori warga negara dengan lembaga negara yang berbeda derajat, harkat dan martabatnya tidak sesuai dengan sila ke 4 pancasila,” ujarnya.
“Selain itu, dua pasal dimaksud juga tumpang tindih, membuat cakupan yang terlalu luas, serta defenisi yang kabur,” tutup Ray.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.