YANGON, KOMPAS.TV - Junta yang berkuasa di Myanmar telah menuntut setidaknya 19 dokter medis karena berpartisipasi dalam aksi unjuk rasa pembangkangan sipil terhadap kudeta 1 Februari militer.
Para dokter, perawat, dan mahasiswa kedokteran telah berbaris dan bergabung dalam pemogokan untuk menunjukkan penentangan mereka terhadap pengambilalihan militer yang menggulingkan pemerintah Aung San Suu Kyi yang terpilih secara demokratis.
Kudeta militer itu dipandang menghentikan kemajuan yang telah dibuat Myanmar menuju demokratisasi yang lebih besar setelah lima dekade pemerintahan militer.
Para dokter itu dituduh mendukung dan berpartisipasi dalam gerakan pembangkangan sipil "dengan tujuan merusak mesin administrasi negara," tulis surat kabar Global New Light of Myanmar yang turut dilansir Associated Press, Rabu (14/04/2021).
Baca Juga: 18 Tentara Tewas Akibat Serangan Balasan Warga Sipil Myanmar
Pemerintah militer mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap 100 orang yang aktif di bidang sastra, film, seni teater, musik dan jurnalisme dengan tuduhan menyebarkan informasi yang merusak stabilitas negara dan supremasi hukum.
Ini bukan pertama kalinya dokter menjadi sasaran. Awal bulan ini di Mandalay, kota terbesar kedua di negara itu, pasukan keamanan menggunakan granat setrum dan menembakkan senjata untuk membubarkan pawai oleh pekerja medis yang memprotes pengambilalihan tentara.
Situs berita online The Irrawaddy melaporkan empat dokter ditangkap pada unjuk rasa tersebut.
Unjuk rasa berlanjut Rabu, (14/04/2021) di seluruh Myanmar bahkan ketika orang-orang memboikot perayaan resmi Thingyan, Tahun Baru tradisional negara itu, biasanya waktu untuk reuni keluarga dan pesta pora.
Baca Juga: Sudah Lebih 700 Rakyat Myanmar Dibunuh Aparat Keamanannya Sendiri Sejak Kudeta 1 Februari Lalu
Dalam selebaran dan postingan media sosial minggu lalu, orang-orang diminta untuk tidak mengadakan perayaan Thingyan, mengatakan akan tidak sopan bagi "para martir yang dibunuh" untuk menikmati festival tersebut.
Tanggapan kekerasan pemerintah terhadap demonstrasi anti-kudeta telah menyebabkan 714 orang terbunuh oleh pejabat keamanan, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.
Pekan lalu, setidaknya 82 orang tewas dalam satu hari dalam tindakan keras oleh pasukan keamanan terhadap pengunjuk rasa, menurut laporan dari media lokal independen dan AAPP.
Korban tewas hari Jumat di Bago adalah total satu hari terbesar untuk satu kota sejak 14 Maret, ketika lebih dari 100 orang tewas di Yangon, kota terbesar di negara itu.
Bago berada sekitar 100 kilometer (60 mil) timur laut Yangon. Associated Press tidak dapat memverifikasi secara independen jumlah kematian.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.