YOGYAKARTA, KOMPAS.TV- Wacana masa jabatan presiden 3 periode di Indonesia menggelinding.
Pakar politik pemerintahan UGM Abdul Gaffar Karim memaparkan ada tiga hal yang akan terjadi jika jabatan presiden 3 periode benar-benar direalisasikan.
Pertama, terjadi pelanggaran pembatasan kekuasaan. Dalam dunia demokrasi modern sudah disepakati jika eksekutif hanya bisa dipilih maksimal dua kali.
“Adanya pembatasan tersebut mengacu pada moral dasar demokarasi bahwa kekuasaan tidak boleh berada di satu tangan, tetapi harus menyebar seluas mungkin,” ujarnya, Selasa (16/3/2021).
Baca Juga: Joko Widodo Tidak Minat Jadi Presiden 3 Periode
Oleh karena itu, ada mekanisme sirkulasi rutin dalam pengelolaan negara melalui pemilihan kepala negara dan daerah secara berkala.
Menurut Abdul Gaffar pembatasan ini adalah kesepakatan supaya menjadi pijakan kekuasaan tidak memusat.
Ia menyebutkan ada dua jenis pembatasan, yakni pembatasan legal dan pembatasan etik.
Pembatasan legal dilakukan dengan aturan resmi seperti regulasi dan konstitusi yakni dengan pemilihan kepala negara dan kepala daerah maksimal dua kali.
Sedangkan pembatasan etik merupakan bentuk pembatasan yang tidak tertulis dalam hukum.
Misal, penguasa aktif diharapkan tidak mendorong keluarga dekat untuk meneruskan kekuasaannya walaupun hal itu tidak dilarang secara hukum, tetapi ada batasan etika politik.
Baca Juga: 5 Negara dengan Jabatan Presiden 3 Periode, Mana Saja?
Kedua, jabatan presiden 3 periode berpotensi menimbulkan persoalan baru yaitu seorang penguasa mampu mengumpulkan sumber daya di tangannya sehingga terlalu berkuasa secara politik, ekonomi, dan sosial.
Ketiga, jabatan presiden 3 periode juga akan menciptakan kompetisi yang tidak adil.
Alasannya, ada satu kekuatan yang terlalu kuat.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.