Kompas TV kolom opini

Rivalitas SBY dan Moeldoko: Peran Senior dan Jejak Rivalitas Satuan

Kompas.tv - 9 Maret 2021, 07:00 WIB
rivalitas-sby-dan-moeldoko-peran-senior-dan-jejak-rivalitas-satuan
Moeldoko saat dilantik menjadi Panglima TNI oleh Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono. (Sumber: Dok Setpres)

Oleh Aris Santoso, Pengamat Militer

Konflik internal Partai Demokrat telah berkembang demikian jauh, menjadi berlarut-larut. Tentu sudah banyak tinjauan dalam perspektif politik atas peristiwa tersebut. Dari pengamatan sekilas, terutama yang beredar di media sosial, substansinya rata-rata subyektif. Maksudnya hanya berisi sanjungan atau membenarkan salah satu pihak, kemudian membenamkan pihak yang lain.

Terus terang tinjauan seperti itu, cenderung bias dan menyesatkan, khususnya bagi publik awam. Saya mencoba menawarkan tinjauan dalam perspektif (internal) militer, yang semoga bisa menambah cakrawala pemahaman dinamika politik militer kiwari.

Konflik internal Partai Demokrat, yang melibatkan dua figur purnawirawan terkemuka, yakni SBY dan Moeldoko, menarik untuk diamati. Seingat saya baru kali ini terjadi konflik antara jenderal dilakukan secara terbuka di depan publik, setidaknya di era pasca-Reformasi. Sempat muncul juga konflik terbuka antara Wiranto (Akmil 1968) dan Kivlan Zen (Akmil 1971), namun isunya soal klaim keuangan, sehingga kurang menarik untuk dibahas.

Jejak Rivalitas Satuan
Konflik internal Partai Demokrat bisa dibaca sebagai pengulangan rivalitas antara Kostrad dan Kodam Jaya di masa lalu, terkait dua tokoh utamanya, yakni SBY (lulusan terbaik Akmil 1973), dan Moeldoko (lulusan terbaik Akmil 1981).

SBY adalah tipikal perwira Kostrad, dan sempat menjadi Komandan Brigif Linud 17/Kujang I, satuan yang paling terkenal di jajaran Kostrad. Demikian juga Moeldoko, sempat pula menjadi Komandan Brigif 1/Jaya Sakti, satuan di bawah Kodam Jaya.

Berbeda dengan era sebelumnya, mulai dekade 1980-an, rotasi bagi perwira lulusan Akmil dibentuk sedemikian rupa, sehingga jarang sekali seorang perwira terafiliasi pada kodam tertentu, termasuk terafiliasi ke Kostrad. Oleh karena itu, analisis berdasarkan asal-usul kodam atau rumpun (ikatan kultural berdasarkan asal-usul kodam), bisa jadi telah menjadi using. Namun untuk kasus konflik antara SBY dan Moeldoko, jejak afiliasi satuan masih bisa kita lihat.

SBY bisa disebut perwira tipikal Kostrad, namun juga sempat berkarir bagus saat ditugaskan di Kodam Jaya, dalam posisi Asisten Operasi dan Kasdam Jaya. Dengan kata lain, SBY dalam dua posisi tersebut, sempat mewarnai Kodam Jaya.

Sedikit berbeda dengan Moeldoko, yang begitu gemilang performanya di Cawang (Markas Kodam Jaya), namun seolah terkesan datar saja saat berkesempatan tugas di Cilodong (Markas Divisi Infanteri 1 Kostrad). Moeldoko memang sempat menjadi Panglima Divisi tersebut, namun hanya dalam hitungan bulan. Itu sebabnya Moeldoko belum sempat meninggalkan jejak, pada penugasan pertama dan satu-satunya di Kostrad.

Seingat saya, Moeldoko masuk Kostrad (2010) itu sekadar “transit” agar dirinya bisa masuk level bintang dua (mayor jenderal), sebuah pola karier yang biasa dilakukan bagi perwira, khususnya yang akan diorbitkan. Benar, saat itu Moeldoko sedang disiapkan untuk menjadi Pangdam XII/Tanjungpura, beserta posisi strategis lainnya.

Singkatnya bagi perwira orbitan seperti Moeldoko, kariernya sudah jelas tertata, dan sedikit banyak tentu ada peran presiden (selaku Panglima Tinggi TNI) saat itu, yaitu SBY.

Bila afiliasi Kodam atau rumpun boleh dikatakan sudah menjadi masa lalu, tidak demikian halnya dengan asal-usul satuan, khususnya bagi perwira yang berasal dari Kopassus (Baret Merah). Karena kualifikasinya teknis militernya yang lebih tinggi, yang bisa dikenali dengan (brevet) komando. Brevet komando ini pula, yang menjadikan menjadikan mereka bisa ditugaskan pada kodam dan satuan manapun, utamanya Kostrad. Sementara perwira dari kodam atau Kostrad, belum tentu bisa ditugaskan di Kopassus, bila tidak memiliki kualifikasi Komando.

Dominasi perwira korps Baret Merah masih berlanjut, saat memasuki periode purnawirawan, sebagaimana terlihat pada Hendropriyono (Akmil 1967) atau Luhut B Panjaitan (Akmil 1970), yang posisinya sebagai king maker di seputar Istana, seolah tak tergoyahkan.



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x