JAKARTA, KOMPAS.TV- Lahirnya peraturan presiden (Perpres) No 10 Tahun 2021 tentang Bidang Penanaman Modal yang salah satunya mengatur mengenai investasi industri minuman keras, terjadi karena kurangnya pengawasan dari DPR. Terutama dalam mengawasi penyusunan aturan turunan dari produk undang-undang.
"Fungsi pengawasan yang dimiliki DPR khususnya dalam urusan legislasi eksekutif sangat lemah. Padahal, penyusunan aturan turunan oleh eksekutif merupakan bagian tak terpisahkan dari kerja pemerintah yang harus diawasi oleh DPR. Ini amanat konstitusi," kata Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie, Senin (1/3/2021).
Baca Juga: Ketua MUI Tegaskan Melegalkan Investasi Miras Hukumnya Haram
Kritik sejumlah fraksi di DPR terhadap Perpres No 10 Tahun 2021 menunjukkan kerja eksekutif dalam urusan legislasi khususnya dalam membentuk aturan pendelegasian yang notabene amanat UU tidak berjalan.
"Kami mendorong ke depan perlu diatur mekanisme pengawasan DPR secara rigid terhadap pemerintah dalam penyusunan aturan turunan dari sebuah UU," saran Tholabi.
Di bagian lain, Tholabi menyebutkan polemik Perpres No 10 Tahun 2021 ini harus tetap ditempatkan dalam perdebatan konstitusional, untuk mengurangi perdebatan publik yang kontraproduktif. Ketentuan yang mengatur mengenai investasi di industri minuman keras dapat diujimateri ke Mahkamah Agung (MA).
"Kami menyarankan perdebatan mengenai Perpres No 10 Tahun 2021 ini dapat diujimaterikan di Mahkamah Agung (MA). Meski, harus dicatat, keberadaan Perpres ini merupakan perintah dari UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja," ingat Tholabi.
Baca Juga: Viral Kabar Wapres Ma'ruf Amin Bolehkan Miras Demi Kas Negara, MUI: Itu Hoax
Sementara reaksi kelompok agamawan atas terbitnya Perpres tersebut memperlihatkan bahwa investasi di industri minuman keras yang mengandung alkohol agar ditinjau ulang oleh pemerintah. "Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik itu harus berpijak pada filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Nah, dari perspektif tersebut Perpres No 10 tahun 2021 ini menimbulkan kontradiksi," tegasnya.
Perpres ini merupakan implikasi dari keberadaan UU tentang Cipta yang pengesahannya diprotes banyak kalangan karena dinilai minim partisipasi.
Sebagi perbandingan, UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang melahirkan aturan turunan Perpres No 44 Tahun 2016 dengan UU No 11 Tahun 2020 dengan aturan turunan Perpres No 10 Tahun 2021.
"Dari dua aturan turunan tersebut terjadi perbedaan yang signifikan, khususnya dalam menempatkan industri minuman keras yang mengandung alkohol. Jika di Perpres No 44 Tahun 2016 masuk klasifikasi daftar bidang usaha tertutup, sedangkan di Perpres No 10 Tahun 2021, industri minuman keras mengandung alkohol masuk dalam kategori daftar bidang usaha persyaratan tertentu," kata Tholabi.
Baca Juga: Polisi Sita Ratusan Miras Berbagai Merek Di Sukabumi
Lebih lanjut Ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) se-Indonesia ini, dalam Pasal 6 Perpres No 10 Tahun 2021 disebutkan semua jenis penanaman modal diperbolehkan pada jenis usaha ini dengan persyaratan penanaman modal untuk Penanam Modal dalam negeri, persyaratan Penanaman Modal dengan pembatasan kepemilikan modal asing dan persyaratan Penanaman Modal dengan perizinan khusus.
"Persyaratan untuk penanaman modal di industri miras ini dibatasi pada wilayah tertentu yakni Bali, NTT, Sulawesi Utara, Papua dan dimungkinkan daerah lain dengan syarat ditetapkan oleh Kepala BPKM atas usulan gubernur," urai Tholabi.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.