NAYPYIDAW, KOMPAS.TV – Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi ditangkap oleh militer Myanmar pada Senin (1/2/2021). Penangkapan ini terkait dengan ketegangan yang terus terjadi antara pemerintah sipil dan militer Myanmar pasca-pemilu. Militer menyebut bahwa pemilu Myanmar diwarnai dengan kecurangan.
Penangkapan ini, membuat Aung San Suu Kyi bagai jatuh tertimpa tangga. Aung San Suu Kyi yang dulu pernah disebut-sebut sebagai ikon perdamaian dunia, perlahan-lahan semakin redup sinarnya. Terutama karena sikapnya yang seolah-olah membiarkan genosida terhadap etnis Rohingya terjadi di negara yang dipimpinnya.
Pada tahun 2015, Aung San Suu Kyi terpilih sebagai penasihat negara. Saat itu, dunia menaruh harapan besar padanya. Peristiwa ini disebut-sebut sebagai tonggak perubahan besar bagi Myanmar. Berbagai harapan besar pun diletakkan di pundak Aung San Suu Kyi, untuk membawa Myanmar menjadi negara demokrasi.
Baca Juga: Kudeta Myanmar: Militer Ambil Alih Negara Satu Tahun ke Depan
Namun tiga tahun kemudian, dunia dipaksa menahan pil kekecewaan. Di bawah kepemimpinannya, Aung San Suu Kyi membiarkan terjadinya genosida terhadap etnis Rohingya, memenjarakan jurnalis dan membungkam para kritikus. Setali tiga uang, Myanmar tetap represif seperti sebelumnya.
Pada tahun 2018, Amnesty Internasional bahkan mencabut penghargaan hak asasi manusia yang pernah diberikan kepada Aung San Suu Kyi, dengan alasan kekecewaan mendalam. Hanya beberapa hari kemudian, 700.000 pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar setelah terjadinya pembersihan etnis yang dipimpin militer pada Agustus 2017. Myanmar gagal memastikan setiap warga negaranya memiliki kebebasan, hak, dan keamanan.
“Meskipun dia selalu menjadi politisi, dia pernah menjadi politisi yang membela demokrasi dan hak asasi manusia, termasuk kebebasan pers. Dia jelas gagal memperjuangkan masalah ini sejak berkuasa. Pemerintahnya sama antusiasnya untuk memenjarakan jurnalis dan kritikus seperti pemerintahan militer sebelumnya," kata Bill Richardson, seorang diplomat AS yang telah mengenal Aung San Suu Kyi selama 25 tahun, dalam wawancara dengan the Guardian tahun 2018.
Apa yang dilihat dunia, memang tidak selalu sejalan dengan kenyataan. Ada jarak antara mitos tentang Aung San Suu Kyi dengan kehidupan nyata. Di satu sisi, Aung San Suu Kyi digambarkan sebagai “Sang Nyonya”. Sosok pejuang suci perdamaian dan demokrasi, yang mengorbankan hidup untuk negaranya. Seorang wanita yang duduk di belakang meja reyot di dalam rumahnya, yang menjadi penjara ketika ia menjadi tahanan rumah.
Di sisi yang lain, Aung San Suu Kyi ternyata adalah seorang otoriter. Seperti dikutip dari the Guardian, gaya kepemimpinannya adalah menolak pendelegasian tugas, bahkan untuk hal terkecil sekalipun. Ia sangat obsesif mengontrol setiap pertemuan dan pesan yang akan disampaikannya. Bukan didorong oleh ideologi yang murni, melainkan tekad untuk melanjutkan politik dinasti warisan ayahnya, Jenderal Aung San, yang dikenal sebagai Bapak Myanmar Modern.
Namun demikian, agaknya Aung San Suu Kyi pun tidak mencoba untuk membuat dirinya terlihat sebagai sosok ideal. Dalam wawancara tahun 2015, dia pernah mengatakan, “Saya tidak seperti Margaret Thatcher, tidak. Tapi di sisi lain, saya juga bukan Bunda Teresa. Saya tidak pernah mengatakan bahwa saya seperti itu."
Baca Juga: Kudeta Myanmar: Telepon, Radio dan TV Terputus, Warga Indonesia Diminta KBRI Untuk Tetap di Rumah
Namun demikian, perubahannya yang drastis dari juru kampanye hak asasi manusia menjadi seseorang yang dikutuk secara luas, tentu sangat mengejutkan pendukungnya. "Saya tidak berpikir dia xenophobia tapi mungkin karena opini yang luar biasa saat ini di Burma, yang sangat memusuhi Islam, dia hanya ikut saja," kata Peter Popham, yang telah menulis dua biografi Aung San Suu Kyi.
“Dan fakta bahwa selama pemilu 2015, NLD [Liga Nasional Untuk Demokrasi] menolak semua kandidat Muslim yang sangat cakap. Hal ini sudah menjadi tanda kelemahan yang sangat mengkhawatirkan dari dia (Aung San Suu Kyi),” tambah Popham.
Aung San Suu Kyi lahir di Burma, ketika negara tersebut masih di bawah pemerintahan Inggris tahun 1945. Dia adalah putri dari jenderal paling terkenal di negara itu. Myanmar mendapat kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1947, namun kemudian sang Jenderal dibunuh pada tahun yang sama.
Aung San Suu Kyi mendapat pendidikan di salah satu universitas terbaik di dunia, yaitu Universitas Oxford. Dia kemudian bekerja di Perserikatan Bangsa-Bangsa selama tiga tahun, sebelum menikah dengan Michael Aris pada tahun 1972 dan menetap di Inggris. Namun saat itu Myanmar, dipimpin oleh rezim militer yang represif. Setelah kudeta tahun 1962, negara itu menutup diri dari dunia.
Ketika Aung San Suu Kyi kembali ke Myanmar pada tahun 1988 dari Oxford, ia meninggalkan suami dan dua anaknya. Saat itu ia tidak memiliki maksud lain, selain untuk merawat ibunya yang sakit. Namun setelah berada di tanah airnya, dia terseret dalam demonstrasi anti-junta, pro-demokrasi, dan mendapati dirinya telah memimpin sebuah gerakan dengan ribuan pendukung. Pada 1988 dia ikut mendirikan NLD, dan hanya setahun setelah itu, dia menjadi tahanan rumah oleh rezim militer.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.